Kemarin saya menuntaskan membaca sebuah novel berjudul
“Ketika Tuhan Jatuh Cinta” yang saya beli bersama adik saya di sebuah toko buku
terkenal di Kota Bandung kira-kira 3 minggu yang lalu. Saat memilik waktu luang
seperti kemarin (sela-sela waktu luang diantara uas L) baru saya menyempatkan membaca.
Sebelum sedikit membahas tentang isi novel yang saya baca,
sebelumnya saya akan menceritakan awal mula sehingga akhirnya saya membeli
novel tersebut. pada saat sedang berjalan-jalan dengan adik saya, kebetulan di
toko buku yang terletak di Jalan Merdeka, Bandung ini sedang mengadakan sale
akhir tahun, saya pun memutuskan untuk melihat-lihat siapa tahu menemukan
beberapa buah buku yang menarik. Pertama melihat novel ini, saya langsung
merasa tertarik dengan judulnya yang sedikit unik, karena berani membawa-bawa
nama tuhan untuk diangkat sebagai judul, segera saya membaca sinopsis yang ada
di belakangnya makin membuat saya tertarik
“mampu
merasakan sentuhan cinta Tuhan di kedalaman hati kita sungguh merupakan anugerah
terbaik dan terindah dalam hidup kita. Mampu memahami diri sendiri sebagai
hamba di hadapan kuasa cinta Tuhan sebagai Sang Khalik sungguh merupakan
detik-detik palingberharga dalam helaian napas hidup kita. Karena hanya dengan
cinta Tuhan, kita bisa menjadi pribadi yang memiliki keshalihan hati dan
kekuatan hidup”.
Menarik bukan penggambaran sinopsisnya? Memang saat ini saya
sedang menggemari novel-novel cinta yang terbalut nafas-nafas religius, dimana
menggambarkan cinta sebagai sesuatu yang lebih suci, tak ada yang dikotori oleh
nafsu-nafsu duniawi, hanya terbalut kepasrahan total akan takdir cinta dari Sang Ilahi.
Di novel ini, saya menemukan sosok Ahma Hizazul Fikri sebagai
sosok utama, yang penggambaran tokohnya sedikit mengingatkan saya pada tokoh
Azzam pada novel Ketika Cinta Bertasbih. Pria sederhana, yang religius, cerdas,
cinta keluarga, dan juga menantikan hadirnya pendamping hidup kiriman Allah
(he..he..he). namun, bukan hal yang ajaib bukan apabila kita menemukan
penggambaran sosok utama sebagai seorang tokoh sempurna tanpa cela (sungguh
inilah yang kurang saya sukai dari cerita-cerita di Indonesia). sementara untuk
tokoh utama wanita disini, tak ada yang tampak terlalu menonjol. Pertama saya
menyangka sosok Leni Meisari yang diam-diam dicintai Fikri sejak tingkat awal
perkuliahan lah yang menjadi tokoh sentral wanita di dalam novel ini. Namun
ternyata saya salah, di tengah cerita, saat cinta mereka baru saja mulai
terjalin, tokoh Leni malah dihilangkan dan muncul sedikit-sedikit saja di bagian
cerita yang lain karena Leni diceritakan dijodohkan dengan pemuda lain bernama
Handi.
Justru sosok Lidya Prameswari Griselda lah, gadis cantik
keturunan tionghoa yang beragama katolik dan juga putri dari Koh Acung lah yang
banyak diceritakan dalam novel ini, walaupun pemeran utama tidak terlibat
perasaan rumit dengan tokoh Lidya ini. Adapun justru tokoh Irul atau Muhamad
Syahrul, sahabat tokoh utama yang kemudian terlibat dalam perasaan dan kejadian
yang rumit dengan tokoh Lidya ini, terutama saat Lidya dinyatakan hamil,
sementara Irul tidak mau bertanggung jawab karena mulai tergoda saat dijodohkan
dengan sosok Shira, gadis cantik blasteran Mesir-Prancis yang sedang menuntut
pendidikan Magisternya di Kota Kembang ini. Cerita semakin rumit saat ternyata,
baik Shira maupun Fikri sama-sama terjebak dalam perasaan yang rumit, namun di
sisi lain Fikri tak dapat melupakan Leni begitu saja, apalagi setelah mendapat
kabar bahwa kehidupan pernikahan Leni tidaklah bahagia.
Konflik semakin diperlengkap dengan tokoh Humaira, adik Fikri
yang polos, cerdas, sholehah, namun mengalami kekecewaan cinta dengan seorang
lelaki bernama Dandi yang ternyata mampu mengubah 180° kehidupan Humaira, ditambah dengan
kematian tragis orang tuanya akibat kecelakaan, dan kaburnya Humaira karena
merasa bersalah, makin membuat sosok Fikri didera begitu banyak persoalan yang
mendera hidupnya. bagaimanakah akhir dari kisah Ahmad Hizazul Fikri ini? Saya
rasa saya akan menemukan keseluruhan jawabanya dalam buku kedua Novel dwilogi
ini, yang sayangnya sampai saat penulisann artikel ini belum saya beli.
Secara keseluruhan, penulisan dari novel ini cukup baik, alur
cerita yang dibuat mengalir tanpa banyak flashback sehingga saya tidak
kesulitan dalam memahami cerita dalam novel ini. Begitupun dengan penggambaran
karakter tokoh-tokohnya, baik karakter fisik maupun karakter psikologis
tokohnya yang digambarkan secara tersirat maupun dengan jelas digambarkan dalam
novel. nilai plus dari novel ini adalah penulis menyispkan puisi-puisi yang
relevan dengan cerita, membuat saya semakin terhanyut akan cerita yang
dituliskan oleh penulis. Apalagi tidak banyak novel yang menyisipkan
puisi-puisi sebagai bagian dari novel. Kemampuan penulis dalam menulis puisi
yang indah, mungkin bisa saja terkait dengan latar belakang pendidikan penulis
yang menempuh pendidikan keguruan di bidang bahasa dan sastra
salut buat kiki si manusia pasir dari desa singarajan,wkwkwkwkwk
BalasHapusiya salut banget, andai ada yang beneran kaya gitu hahaha
BalasHapuskatanya emg bener2 ada, soalnya tu novel diangkat dari kisah nyata..
Hapusiya dan sebentar lagi mau tayang film nya ya?, wah jadi pengen cepet liat
BalasHapusSubhanalloh :-)
BalasHapusYuupzzz.. bner banget ada orangnya.. ������ dan klw mau lebih baca 4 nobel lagi tentang si pelukis pasir...
BalasHapus