Minggu, 30 Agustus 2015

maaf jika aku seorang introvert :)

            Sedikit bercerita pengalaman masa kecil,bukan bermaksud menyimpan kekecewaan dari masa kecil,  hanya belajar agak tidak mengulang kesalahan saat menjadi orang yang dianggap lebih dewasa kelak

        Di masa kecil, beberapa kali saya mendengar beberapa orang dewasa mengomentari saya dengan sebutan kuuleun hanya karena saya lebih memilih untuk bermain barbie sendirian dirumah daripada ikut bermain ucing sumput bersama teman-teman sebaya,  Ataupun disebut kutu buku ketika saya lebih memilih untuk tenggelam bersama koleksi buku-buku koleksi kakek saya yang bahkan beberapa diantaranya seusia dengan ayah saya dibanding harus nongkrong bersama teman-teman seumur yang asyik membicarakan soal cinta monyet masing-masing. 

          Saya juga masih ingat dengan jelas bagaimana beberapa kerabat mengatai saya cicingeun ketika dalam sebuah hajatan sepupu yang lagi-lagi sebaya asyik bernyanyi dan menari di atas panggung, sementara saya hanya mampu memandangi dari jauh. Bahkan terkadang momen kumpul keluarga saat hari raya atau acara-acara tertentu sering membuat saya bosan setengah mati, “ ah apakah mereka itu tidak lelah berjam-jam membicarakan hal ini itu, tertawa begini-begitu”, rasanya ingin cepat kabuuuuuur dan kembali ke gua kecil saya, my room :p.

        Semakin bertambah umur, memasuki masa remaja ternyata apa yang sempat saya anggap masalah belum mau hilang juga. Bagaimana lingkungan sekitar kembali melabeli saya sebagai orang yang tidak bisa gaul hanya karena intensitas saya keluar rumah dan bergaul dengan tetangga yang mayoritas sebaya sangat kurang bahkan sangat jarang, saat itu belum dikenal istilah cabe-cabean seperti sekarang, namun aktivitas nongkrong abg sambil nonton konser musik di lapang gasibu, dari ada band sampai konser mba inul yang ramai karena dicekal bang haji  seakan menjadi indikator anak gaul daerah titimplik dan sekitarnya (berhubung lokasi rumah terlalu dekat dari kawasan gasibu).

      Bukan berarti saya yang saat itu baru beranjak abg tidak sering tertekan dengan hal itu, penyesalan diri karena tingginya ekspektasi orang-orang di sekitar tentulah bikin saya keder, ditambah dengan ketidakpahaman orang tua saya akan hal itu, seringkali membuat saran yang dikeluarkan pun tidak tepat. Bukan hal aneh jika saya mendapat nasehat “tong cicing diimah wae, geura ulin jug” atau “senyum atuh sama orang teh biar ga disangka judes”. ah... andai orang-orang dewasa itu tahu betapa saya juga sangat ingin seperti teman-teman saya yang mereka contohkan hidupnya lebih bahagia dan lebih menyenangkan hanya karena mereka talkactive, mungkin.

        Memasuki usia setengah remaja setengah dewasa, berkenalan dengan dunia kampus dengan ilmu-ilmu baru, saya sampai pada beberapa mata kuliah yang berkaitan dengan psikologi. Berbekal sesendok ilmu dari dosen, saya bersemangat untuk mencari semangkuk ilmu di internet mengenai tipe-tipe kepribadian manusia. Sehingga sampailah saya kepada istilah-istilah yang sebelumnya awam seperti introvert, ambivert dan ekstrovert.

         Dalam sebuah artikel yang saya baca dengan mata sedikit menyipit dari awal hingga akhir, diselingi anggukan kepala setiap dua baris sekali dan senyuman di akhir artikel, saat itulah saya resmi memproklamirkan diri saya sebagai seorang introvert. Artikel tersebut mengungkapkan bagaimana seorang introvert yang cenderung sering merasa lelah dalam keramaian dan juga anti menjadi pusat perhatian dan dalam hati saya berteriak lantang, inilah saya !!.

         Maaf, tanpa bermaksud mendiskreditkan apalagi berniat untuk tidap menaruh rasa hormat dan bakti saya terhadap orang-orang yang saya ceritakan sebelumnya, akhirnya perlu kira-kira 22 tahun sampai akhirnya saya paham bahwa orang-orang yang melabeli saya dengan sebutan yang cukup membuat mengelus dada dan membuat saya yang remaja mengalami krisis kepercayaan diri sebenarnya tidaklah memahami bagaimana seorang anak berbeda dengan anak yang lainnya. Bagaimana seorang anak istimewa dengan caranya masing-masing. Entah itu anak yang senang membaca buku sendirian di pojokan kamar, atau anak yang justru senang bicara dan menjadi pusat perhatian. Tak pernah ada yang salah dengan dua anak tersebut bukan?

         Saya tidak pernah merasa menjadi seseorang yang anti sosial hanya karena saya merasa kuuleun atau cicingeun. saya tetap menjalin pertemanan bahkan beberapa persahabatan terjalin dalam hitungan waktu yang cukup lama. Saya, yang saya deklarasikan sendiri bahwa saya ini si introvert berdasarkan pengetahuan yang terbatas, tetap senang bertemu dengan orang-orang baru, walau setelahnya harus menyembuhkan diri dengan “me time” yang cukup lama.

         Tapi kembali lagi, untuk berubah pun saya sudah merasa terlalu nyaman dengan keadaan diri saya yang seperti ini. Semoga dengan semakin banyaknya kaum dewasa dengan berpikiran terbuka dan paham bahwa setiap manusia itu unik dan istimewa, tak perlu ada lagi “lisa” lainnya yang mengalami apa yang pernah saya rasakan di masa kecil. Karena percayalah, 22 tahun itu bukan waktu yang singkat dan akan sangat menyedihkan seandainya butuh lebih dari 22 tahun untuk mendapatkan jawaban ini


Maafkan, jika saya tidak mampu menjadi talkactive mamah, karena itu, ah sungguh melelahkan xD

finally i've got my S.Pd

akhirnyaaaaaaaaa, setelah postingan terakhir kira-kira tahun kemaren, hidup  lagi ini blog xD

sedikit cerita tentang salah satu peristiwa besar di hidup saya boleh kan?
alhamdulillah setelah perjuangan 4 tahun berdarah-darah penuh dengan air mata, kelaparan dan jadi korban php dosen (yang terakhir disebutin cuma satu semester aja kok, sisanya kehidupan kampus sebenernya indah),

27 Agustus 2015
dari pagi-pagi jam 6 pas pun belum kelewat dengan semangat menggebu-gebu, sepiring nasi goreng dan segelas teh hangat serta doa dari orang tua, udah melangkahkan kaki menuju kampus tercinta. setelah pembukaan jam 7 di salah satu ruangan fakultas yang ber AC tapi keringet tetep bercucuran, dimulailah fighting dengan para dosen penguji

08.15 dipanggil ke ruangan penguji pertama. gemeteran, grogi, takut, ngeri, sampe lupa kalau tadi lagi menahan buang air. setelah sejam "diskusi ringan" sama ibu dosen tersayang yang diiringi pemberian ucapan selamat yang langsung bikin terharu sampai berlinang air mata

13.15 setelah menunggu sampai ngantuk dan rasanya ingin pulang saja ke pangkuan kasur yang pasti akan memanjakan diri, akhirnya dipanggil juga ke ruangan penguji dua. dengan pertanyaan-pertanyaan yang gak kalah sadis, diakhiri ucapan selamat juga oleh penguji kedua. terima kasih Pak, kelak saya tidak akan pernah lupa bagaimana seharusnya menulis The Pursuit of Happyness Pak :)

15.45 waktu yang sebenarnya sudah tidak lazim untuk dipakai memaparkan hasil penelitian. selain saya tahu bahwa penguji ketiga ini pasti sudah lelah (begitupun mahasiswanya), singkat cerita setelah pemberian selamat dan revisi, beban itu akhirnya lepas, saya sudah selesai melaksanakan bakti terakhir sebagai seorang mahasiswa tingkat akhir yakni mempertahankan hasil penelitian saya.

16.24 di ruang laboratorium Pendidikan IPS UPI, akhirnya Lisa Inawati dinyatakan resmi menyandang S,Pd dibelakang namanya, terharu? jelas lah, akhirnya bisa benar-benar mewujudkan cita-cita waktu sd menjadi guru IPS . sedih? iya juga karena sadar pengalaman jadi mahasiswa s2 dan s3 (kalau mendapat kesempatan) pasti akan berbeda dengan yang selama ini dialami menjadi mahasiswa s1

dan terakhir bagian paling penting, foto-foto pasca yudisium
maaf yah kalau yang hajatnya (baca: sidang) ternyata kalah pamor dibanding buket bunga atau balon buat difotoin temen-temenya
terima kasih, terima kasih banyak kepada kalian yang selalu mendampingi atau pernah menjadi bagian dari nano-nano nya kehidupan mahasiswa saya, semoga manis asem asin nya kalian ga akan pernah terlupakan


Bandung, 30 Agustus 2015
diantara wangi teh melati dan minyak angin lavender
Lisa