Sedikit
bercerita pengalaman masa kecil,bukan bermaksud menyimpan kekecewaan dari masa
kecil, hanya belajar agak tidak
mengulang kesalahan saat menjadi orang yang dianggap lebih dewasa kelak
Di
masa kecil, beberapa kali saya mendengar beberapa orang dewasa mengomentari
saya dengan sebutan kuuleun hanya karena saya lebih memilih untuk bermain
barbie sendirian dirumah daripada ikut bermain ucing sumput bersama teman-teman
sebaya, Ataupun disebut kutu buku ketika
saya lebih memilih untuk tenggelam bersama koleksi buku-buku koleksi kakek saya
yang bahkan beberapa diantaranya seusia dengan ayah saya dibanding harus
nongkrong bersama teman-teman seumur yang asyik membicarakan soal cinta monyet
masing-masing.
Saya juga masih ingat
dengan jelas bagaimana beberapa kerabat mengatai saya cicingeun ketika dalam
sebuah hajatan sepupu yang lagi-lagi sebaya asyik bernyanyi dan menari di atas
panggung, sementara saya hanya mampu memandangi dari jauh. Bahkan terkadang
momen kumpul keluarga saat hari raya atau acara-acara tertentu sering membuat
saya bosan setengah mati, “ ah apakah mereka itu tidak lelah berjam-jam
membicarakan hal ini itu, tertawa begini-begitu”, rasanya ingin cepat
kabuuuuuur dan kembali ke gua kecil saya, my room :p.
Semakin
bertambah umur, memasuki masa remaja ternyata apa yang sempat saya anggap
masalah belum mau hilang juga. Bagaimana lingkungan sekitar kembali melabeli
saya sebagai orang yang tidak bisa gaul hanya karena intensitas saya keluar
rumah dan bergaul dengan tetangga yang mayoritas sebaya sangat kurang bahkan
sangat jarang, saat itu belum dikenal istilah cabe-cabean seperti sekarang,
namun aktivitas nongkrong abg sambil nonton konser musik di lapang gasibu, dari
ada band sampai konser mba inul yang ramai karena dicekal bang haji seakan menjadi indikator anak gaul daerah
titimplik dan sekitarnya (berhubung lokasi rumah terlalu dekat dari kawasan
gasibu).
Bukan
berarti saya yang saat itu baru beranjak abg tidak sering tertekan dengan hal
itu, penyesalan diri karena tingginya ekspektasi orang-orang di sekitar
tentulah bikin saya keder, ditambah dengan ketidakpahaman orang tua saya akan
hal itu, seringkali membuat saran yang dikeluarkan pun tidak tepat. Bukan hal
aneh jika saya mendapat nasehat “tong cicing diimah wae, geura ulin jug” atau “senyum
atuh sama orang teh biar ga disangka judes”. ah... andai orang-orang dewasa itu
tahu betapa saya juga sangat ingin seperti teman-teman saya yang mereka
contohkan hidupnya lebih bahagia dan lebih menyenangkan hanya karena mereka
talkactive, mungkin.
Memasuki
usia setengah remaja setengah dewasa, berkenalan dengan dunia kampus dengan
ilmu-ilmu baru, saya sampai pada beberapa mata kuliah yang berkaitan dengan
psikologi. Berbekal sesendok ilmu dari dosen, saya bersemangat untuk mencari
semangkuk ilmu di internet mengenai tipe-tipe kepribadian manusia. Sehingga
sampailah saya kepada istilah-istilah yang sebelumnya awam seperti introvert,
ambivert dan ekstrovert.
Dalam
sebuah artikel yang saya baca dengan mata sedikit menyipit dari awal hingga
akhir, diselingi anggukan kepala setiap dua baris sekali dan senyuman di akhir
artikel, saat itulah saya resmi memproklamirkan diri saya sebagai seorang
introvert. Artikel tersebut mengungkapkan bagaimana seorang introvert yang
cenderung sering merasa lelah dalam keramaian dan juga anti menjadi pusat
perhatian dan dalam hati saya berteriak lantang, inilah saya !!.
Maaf,
tanpa bermaksud mendiskreditkan apalagi berniat untuk tidap menaruh rasa hormat
dan bakti saya terhadap orang-orang yang saya ceritakan sebelumnya, akhirnya
perlu kira-kira 22 tahun sampai akhirnya saya paham bahwa orang-orang yang
melabeli saya dengan sebutan yang cukup membuat mengelus dada dan membuat saya
yang remaja mengalami krisis kepercayaan diri sebenarnya tidaklah memahami
bagaimana seorang anak berbeda dengan anak yang lainnya. Bagaimana seorang anak
istimewa dengan caranya masing-masing. Entah itu anak yang senang membaca buku
sendirian di pojokan kamar, atau anak yang justru senang bicara dan menjadi
pusat perhatian. Tak pernah ada yang salah dengan dua anak tersebut bukan?
Saya
tidak pernah merasa menjadi seseorang yang anti sosial hanya karena saya merasa kuuleun atau cicingeun. saya tetap menjalin
pertemanan bahkan beberapa persahabatan terjalin dalam hitungan waktu yang
cukup lama. Saya, yang saya deklarasikan sendiri bahwa saya ini si introvert
berdasarkan pengetahuan yang terbatas, tetap senang bertemu dengan orang-orang
baru, walau setelahnya harus menyembuhkan diri dengan “me time” yang cukup
lama.
Tapi
kembali lagi, untuk berubah pun saya sudah merasa terlalu nyaman dengan keadaan
diri saya yang seperti ini. Semoga dengan semakin banyaknya kaum dewasa dengan
berpikiran terbuka dan paham bahwa setiap manusia itu unik dan istimewa, tak
perlu ada lagi “lisa” lainnya yang mengalami apa yang pernah saya rasakan di
masa kecil. Karena percayalah, 22 tahun itu bukan waktu yang singkat dan akan
sangat menyedihkan seandainya butuh lebih dari 22 tahun untuk mendapatkan
jawaban ini
Maafkan,
jika saya tidak mampu menjadi talkactive mamah, karena itu, ah sungguh
melelahkan xD