1. Analisis tokoh Balaputradewa yang
dihubungkan dengan kerajaan Mataram dan Sriwijaya
Balaputradewa
merupakan cucu dari seorang raja dari Mataram kuno, Raja Dharanindra
(berdasarkan prasasti Kelurak). Ada pendapat yang menyebutkan bahwa Balaputradewa
mewarisi tahta kerajaan Sriwijaya dari kakeknya dari pihak ibu (Sri
Dharmasetu), pendapat lain mengatakan bahwa Balaputradewa menjadi raja di
kerajaan Sriwijaya dikarenakan kekuasaan wangsa Syailendra yang sudah mencakup
wilayah Sumatera yang didasarkan atas prasasti Kelurak. Hal ini diperkuat lagi
dengan adanya prasasti Ligor yang menyatakan bahwa kerajaan Sriwijaya dikuasai
wangsa Syailendra sejak zaman Maharaja Wisnu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
Samaragrawira (ayah dari Balaputradewa) menyerahkan kekuasaan di Sriwijaya
(Sumatera) kepada Balaputradewa, sedangkan Samaratungga (suami dari
Pramodawardhani) di tempatkan di Jawa.
2. Analisis perbedaan sisilah wangsa Sanjaya
dan Wangsa Syailendra
Perbedaan
silsilah dalam wangsa Sanjaya dan Syailendra di sebabkan adanya perbedaan sudut
pandang. Misalnya, teori dari Bosch yang berpegang pada prasasti Mantyasih
lebih menekankan pada raja-raja yang berkuasa, terutama di kerajaan Medang.
Sedangkan teori Slamet Muljana yang mengemukakan pendapatnya berdasarkan
bukti-bukti yang tertulis dalam prasasti Kelurak, Nalanda dan Kayumwungan yang
justru tidak menyebutkan adanya nama wangsa Sanjaya, sehingga beliau
menyimpulkan bahwa Rakai Panangkaran, rakai Panunggalan, Rakai Warak dan Rakai
Garung berasal dari wangsa Syailendra, sedangkan sisanya wangsa Sanjaya.
Kecuali rakai kayuwangi yang berdarah campuran.
Namun, terdapat
perbedaan yang mencolok diantara kedua wangsa/dinasti ini yaitu masalah agama
yang dianut, wangsa sanjaya menganut agama Hindu
aliran Siwa,
dan berkiblat ke Kunjaradari di daerah India. Sementara wangsa syailendra raja-rajanya
adalah penganut dan pelindung agama Buddha
Mahayana.
3. Hubungkan prasasti Ligor A dan Ligor B
Prasasti
Ligor merupakan prasasti yang di temukan di daerah India bagian timur dengan
berangka tahun 775 M berupa sebongkah batu bertulis di kedua sisinya. Sisi
pertama disebut Ligor A yang memuat keterangan raja Sriwijaya dan pujian
terhadap raja Sriwijaya. Sedangkan sisi kedua disebut Ligor B yang memuat
keterangan mengenai seorang raja bernama
Wisnu yang bergelat Sarwarimadawimathana. Dari prasasti ini dapat disimpulkan
bahwa daerah Ligor merupakan salah satu daerah kekuasaan Sriwijaya.
4. Analisis tokoh Sanjaya dalam prasasti
Canggal dengan Kitab Carita Parahyangan
Prasasti
Canggal yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir memberikan gambaran yang
cukup jelas tentang kehidupan politik Kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini
bertuliskan tahun654 Saka atau 732, ditulis dengan huruf Palawa yang
menggunakan bahasa Sansekerta. Prasasti Canggal mengisahkan bahwa, sebelum
Sanjaya bertakhta sudah ada raja lain bernama Sanna yang memerintah Pulau Jawa
dengan adil dan bijaksana. Sepeninggal Sanna keadaan menjadi kacau. Sanjaya
putra Sannaha (saudara perempuan Sanna) kemudian tampil sebagai raja. Pulau
Jawa pun tentram kembali. Prasasti Canggal ternyata tidak menyebutkan nama
kerajaan yang dipimpin Sanna dan Sanjaya. Sementara itu prasasti Mantyasih
menyebut Sanjaya sebagai raja pertama Kerajaan Medang, sedangkan nama Sanna
sama sekali tidak disebut. Mungkin Sanna memang bukan raja Medang. Dengan kata
lain, Sanjaya mewarisi takhta Sanna namun mendirikan sebuah kerajaan baru yang
berbeda.
Naskah Carita Parahyangan Ditulis Sekitar Abad Ke-16, Jadi
Berselang Ratusan Tahun Sejak Kematian Sanjaya. Dikisahkan, Nama Asli Sanjaya
Adalah Rakeyan Jambri, Sedangkan Sanna Disebut Dengan Nama Bratasenawa, Atau
Disingkat Sena. Sena Adalah Raja Kerajaan Galuh Yang Berhasil Dikalahkan Oleh
Saudara Tirinya, Bernama Purbasora. Putra Sena, Yaitu Rahyang Sanjaya Alias
Rakeyan Jambri Telah Menjadi Menantu Tarusbawa Raja Kerajaan Sunda.
Dapat disimpulkan bahwa tokoh
Sanjaya yang tertera pada prasasti Canggal dan Kitab carita Parahyangan
merupakan orang yang sama. Prasasti Canggal merupakn bukti sezaman dan
setempat, sedangkan Kitab Carita Parahyangan merupakan bukti sejarah yang
setempat tak sezaman dengan tokoh Sanjaya sendiri.
5. Hubungkan antara prasasti Kelurak dengan
Ligor B
Untuk
menjelaskan hubungan antara prasasti Kelurak dengan Ligor B, Kami ambil dari
pendapat Slamet Muljana yang menyatakan bahwa prasasti Ligor B di keluarkan
oleh Maharaja Wisnu setelah Sriwijaya di kuasai oleh Syailendra. Wisnu dan
Dharanindra (raja dari wangsa Syailendra) masing-masing dijuluki
Sarwarimasawimathana dalam prasasti Ligor B dan Vairivadawimathana dalam
prasasti Kelurak yang sama-sama bermakna
“pembunuh musuh-musuh perwira”. Selain itu, nama Wisnu dan Dharanindra
memiliki arti yang sama, yaitu “pelindung Dunia”. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa Wisnu dan Dharanindra adalah orang yang sama. Hubungan dari kedua
prasasti ini adalah sama-sama merupakan prasasti yang memuat tentang keterangan
dari raja kerajaan Sriwijaya.
6. Analisis hubungan Pramodawardhani dan
Balaputradewa
Menganai hubungan antar Pramodawardhani dan
Balaputradewa, terdapat dua pandangan. Pandangan pertama yang dikemukakan oleh De Casparis menyebutkan
bahwa Pramodawardhani adalah saudara kandung dari Balputradewa. Teori ini dibantah oleh Slamet Muljana karena menurut prasasti Kayumwungan, Samaratungga hanya memiliki seorang anak perempuan bernama Pramodawardhani. Menurutnya, Balaputradewa lebih tepat disebut sebagai adik
Samaratungga. Dengan kata lain, Samaratungga adalah putra sulung Samaragrawira, sedangkan Balaputradewa adalah putra bungsunya. Berdasarkan analisis prasasti Ligorpun menyebutkan
bahwa Balaputradewa merupakan adik dari Samaratungga.
7. Hubungan antara prasasti Kedu dan Wanua
Tengah
Pada dasarnya prasasti
kedu (mantyasih) memiliki isi yang hampir sama, yaitu menuliskan tentang daftar
raja yang berkuasa pada masa kerajaan mataram kuno, hanya saja prasasti wanua
tengah dianggap melengkapi isi dari isi prasasti kedu,dimana dalam prasasti
wanua tengah terdapat 12 nama raja mataram kuno, sementara prasasti kedu (mantyasih)
hanya terdapat 9 nama raja saja
8. Hubungan antar Airlangga dengan Raja-raja
Bali
Airlangga
atau sering pula ditulis Erlangga,
adalah pendiri Kerajaan Kahuripan, yang memerintah 1009-1042 dengan
gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga
Anantawikramottunggadewa. Nama Airlangga berarti "Air yang melompat".
Ia lahir tahun 990. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan
mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta
mengadakan serangan ke Sriwijaya.
Airlangga menikah dengan putri
pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh (saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang (sekarang sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur). Ketika pesta
pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota Watan diserbu Raja Wurawari yang
berasal dari Lwaram (sekarang desa Ngloram, Cepu, Blora)[1], yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Kejadian tersebut tercatat dalam
prasasti Pucangan (atau Calcutta Stone). Pembacaan Kern atas prasasti tersebut,
yang juga dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan tersebut
terjadi tahun 928 Saka, atau sekitar 1006
Pada usia muda Airlangga dikirim ke istana pamannya,
Raja Jawa (Raja Dharmawangsa), untuk belajar dan akhirnya menikah. Ketika
kerajaan hancur oleh perang saudara, para pemenang mengundang Airlangga untuk
mengambil alih takhta pamannya yang sudah mangkat.
Airlangga
berusaha keras membangun kembali kerajaannya. Ia bahkan menggabungkan pulau
Bali, pulau kelahirannya, menjadi bagian kerajaannya dan memerintah pulau Bali
melalui tangan adiknya sendiri, Marakata dan kemudian adik bungsunya Anak
Wungsu. Dengan demikian Airlangga memperkuat hubungan budaya dan politik antara
Jawa dan Bali yang terus berlanjut, dan dengan demikian sangat menguntungkan
Bali, selama lebih dari tiga abad. Bagaimanapun hubungan antara Jawa dan Bali
tidaklah selalu mulus. Orang-orang Bali seringkali memberontak, membebaskan
diri dari kekuasaan raja-raja Jawa. Orang-orang Jawa, mula-mula Raja Kertanegara
dari Singasari (1262 TM) dan kemudian para bangsawan Majapahit berkali-kali
menyerang Bali untuk menanamkan kekuasaannya lagi. Raja Kertanegara dari
Singasari menyerang Bali dua kali pada tahun 1262 dan 1284 untuk menaklukkan
Bali. Di kemudian hari, Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit menyerang Bali pada
tahun 1343 TM dan membunuh Raja Bali Aga terakhir dari Dinasti Pejeng yaitu Sri
Asta Sura Ratna Bhumi Banten atau Raja Tapolung atau Dalem Bedahulu (Bedulu).
Sejak saat
itu Bali menjadi sebuah propinsi yang tunduk pada penguasa pusat di Majapahit,
Jawa Timur. Para penguasa Majapahit mengangkat Kresna Kepakisan, seorang
brahmana keturunan Kediri (juga keturunan Airlangga!) untuk memerintah Bali.
Kepakisan mendirikan dinasti yang menurunkan raja-raja Bali, yang bertindak
lebih sebagai pendukung ketimbang sebagai bawahan Majapahit. Dia dan para raja
keturunannya sering menggunakan gelar Jawa Susuhunan yang berarti Maharaja.
Walaupun banyak juga yang menggunakan gelar asli Bali seperti Dewa Agung, atau
Tuhan Yang Agung, sehingga menyiratkan arti bahwa mereka memerintah secara
bebas merdeka atas perintah para Dewa. Kepakisan membangun puri (istana)-nya di
Samprangan, di sebelah timur Kota Gianyar sekarang dan memerintah dengan keras
namun adil atas seluruh Pulau Bali. Keturunannya kemudian memindahkan ibu kota
ke Gelgel, di sebelah selatan Kota (Semarapura) Klungkung sekarang.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1515 M. muncullah Kerajaan
Islam Demak, Pajang dan Mataram yang giat menyebarkan pengaruh Islam. Ribuan
bangsawan, imam, serdadu, seniman, pengrajin dan rakyat yang menolak masuk
Islam kabur dari Jawa ke Bali. Sebagian mengungsi ke pegunungan Bromo-Tengger
di Jawa Timur. Di Bali mereka membawa pengaruh baru dalam tatanan sosial,
bahasa, agama, budaya dan kesenian, sehingga seolah-olah agama Hindu yang sudah
kuat berakar di Bali dan kesenian Bali makin berkembang menjadi jauh lebih
kaya.
9.
Sumber-sumber
dari China tentang Hindu Buddha
Sumber-sumber
China mengenai kerajaan Hindu Buddha Sumber- sumber yang berasal dari China
mengenai kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia terdapat pada:
a)
Berita Fa Hien
Fa Hien adalah seorang pendeta Buddha yang
akan kembali ke China dari ziarah di India. Pada tahun 414, ia terpaksa singgah
di Ye-Po-Ti yang di identifikasi sebagai kerajaan Tarumanegara karena kapal
yang di tumpanginya mengalalmi kerusakan.
b)
Berita Dinasti Sui dan Dinasti Tang
Berita ini mengatakan bahwa pada tahun
528-538 telah datang utusan dari Tolomo. Sementara itu, berita dari dinasti
Tang pun mengungkapkan bahwa pada tahun 666-669 datang utusan dari Tolomo yang
di mungkinkan sebagai Kerajaan Tarumanegara.
c)
Berita I Tsing
I Tsing adalah pendeta Buddha yang
pada tahun 762, dalam perjalanannya ke India, ia singgah di Sriwijaya selama 6
bulan. Ia menyatakan bahwa di Sriwijaya terdapat 1000 orang pendeta yang
menguasai agama seperti di India.
d)
Berita Dinasti Sung
Dinasti ini
menyatakan bahwa antara tahun 971-972 telah datang berkali-kali utusan dari Sriwijaya ke China. Namun utusan
tersebut tidak segera pulang, tapi singgah di Kanton karena Sriwijaya di serang
oleh kerajaan Shepo (Jawa)
e)
Berita Dinasti Ming
Dinasti ini mengatakan bahwa pada tahun
1376 kerajaan Sriwijaya telah di tundukkan oleh raja dari Jawa (kerajaan
Majapahit). Dinasti Ming ini pun menyebutkan perang antara Wikramawardhana dan
Bre Wirabumi. Sedangkan di tahun 1499 menjelaskan adanya hubungan diplomatik
antara China dan Jawa.
f)
Kitab Ling- Wai-Tai-Ta
Kitab ini di susun oleh Chou Ku Fei tahun
1178. Isinya memberikan gambaran tentang keadaan pemerintahan dan masyarakat
pada zaman kerajaan Kediri.
g)
Kitab Chu-fan-chi
Kitab
ini di tulis Chau Ju Kua. Kitab ini menjelaskan tentang kehidupan politik,
ekonomi, sosial, dan budaya ,masyarakat Kediri.
h)
Berita Ma Huan
Ma Huan dalam
bukunya yang berjudul Ying-Yai, menulis tentang keadaan kerajaan Majapahit
10. Sumber-sumber dari Timur
Tengah dan Eropa mengenai kerajaan Hindu Buddha
a)
Berita Portugis
Berita
Portugis menyebutkan bahwa pada tahun 1518, di Jawa masih ada kerajaan kafir di
pedalaman yang di kuasai oleh Pate Udara. Berita dariPortugis pun menyebutkan
bahwa pada tahun 1512-1521, Ratu Samian dari Pajajaran memimpin perutusan ke
Malaka untuk mencari Sekutu. Ppada tahun 1522, utusan Portugis bernama Hendrik
de Leme datang ke Pajajaran.
b)
Berita Tome Pires
Tome pires
adalah orang Portugis yang berlayar ke Indonesia pada tahun 1513. Ia menyatakan
bahwa ibu kota Pajajaran disebut Dayo yang letaknya kira-kira dua hari
perjalanan dari Sunda Kelapa.
Dan juga dalam buku suma oriental tomo pires menuliskan salah satunya tentang
kerjasama antara kerajaan pajajaran dan portugis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar