BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Penulisan Makalah
Jika dilihat dari perkembangan zaman
saat ini, tidak sedikit para generasi muda yang tidak memahami warisan
kebudayaan bangsanya sendiri. Hingga sedikit demi sedikit mengikis jiwa
kebangsaan mereka. Walaupun masalah pengetahuan kebudayaan tidak menjadi materi
penting dalam kurikulum sekolah dasar maupun menengah, tapi sebenarnya materi
ini seharusnya sudah ada pada kurikulum sekolah dasar.
Globalisasi dan modernisasi industri
juga sedikit banyak sudah mengganggu kestabilan ekosistem dunia.Manusia dan
alam seharusnya bisa hidup dengan berdampingan dan menciptakan keharmonisan
anatara keduanya.Namun yang terjadi saat ini adalah manusia yang lebih berkuasa
atas alam.Manusia mengeksploitasi alam tanpa memperhatikan keberlangsungannya
untuk waktu yang lama dan hanya berorientasi pada keuntungan pribadi.
Selain sebagai warisan kebudayaan
yang harus dipertahankan, kearifan lokal masyarakat Jawa Barat juga bisa
menjadi salah satu solusi yang mungkin bisa menyelesaikan permasalahan
lingkungan akibat modernisasi industri yang tengah melanda seluruh dunia saat
ini.hal ini dikarenakan masyarakat tradisional yang ada di wilayah Jawa Barat
masih mempertahankan tata cara penataan lingkungan yang bersahabat dengan alam.
Sehingga tidak akan mengganggu ataupun merusak kestabilan ekosistem manusia.
Oleh karena itu disusunnya makalah
ini semoga bisa menambah pengetahuan kita khususnya dalam pengelolaan lingkungan
yang dikombinasikan dengan nilai-nilai tradisional yang ramah
lingkungan.Sehingga kearifan lokal yang terus dijaga di beberapa wilayah Jawa
Barat tidak hanya sebagai warisan lokal yang harus dijaga tapi nilainya
bertambah sebagai solusi atas masalah lingkungan saat ini.Agar budaya dan
lingkungan dapat hidup berdampingan sampai kepada anak cucu kita nantinya.
1.2
Rumusan Masalah
a) Apa yang dimaksud dengan kearifan lokal?
b) Bagaimanakah peran kearifan local dalam pengelolaan
lingkungan?
c) Bagaimana pengelolaan lingkungan yang berbasis
kearifan local di wilayah Baduy?
d) Bagaimana pengelolaan lingkungan yang berbasis
kearifan local di wilayah Gunung Halimun?
e) Bagaimana pengelolaan lingkungan yang berbasis
kearifan local di wilayah Kampung Naga?
f) Bagaimana pengelolaan lingkungan yang berbasis
kearifan local di wilayah Kampung Kuta?
g) Bagaimanakah relasi dan keterkaitan antara Tuhan,
manusia, dan alam?
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah
a) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kearifan lokal
b) Untuk mengetahui bagaimanakah peran kearifan local
dalam pengelolaan lingkungan
c) Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan lingkungan yang
berbasis kearifan local di wilayah Baduy
d) Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan lingkungan yang
berbasis kearifan local di wilayah Gunung Halimun
e) Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan lingkungan yang
berbasis kearifan local di wilayah Kampung Naga
f) Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan lingkungan yang
berbasis kearifan local di wilayah Kampung Kuta
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kearifan Lokal
Keadaan
lingkungan kita sekarang memang memiliki berbagai masalah yang
mengglobal.Dampak masalah-masalah lingkungan ini dirasakan oleh masyarakat yang
tinggal di seluruh dunia.Masalah-masalah lingkungan ini membutuhkan solusi
penanganan lingkungan yang dapat membuat keadaan lingkungan kita menjadi lebih
baik.Mengapa kita tidak berkaca ke masa lalu saat lingkungan kita masih asri.
Bagaimana cara orang-orang pada saat itu menjaga lingkungan mereka? Jawabannya
mereka menerapkan kearifan lokal. “ketakutan akan hancurnya lingkungan hidup di
Indonesia tidak akan terjadi bila kearifan lingkungan atau kearifan lokal
masyarakat (local wisdom) yang sudah ada di dalam kehidupan masyarakat Indonesia
sejak zaman dahulu tetap terpelihara dengan baik…”(Fadmin Prihatin Malau
,Kembali kepada Kearifan Lokal Lingkungan Indonesia). Oleh karena itu sebaiknya
kita mulai kembali kepada kearifan lokal dalam usaha kita menjaga lingkungan.
Karena
kita tidak dapat memungkiri bahwa kearifan lokal terancam tergerus dengan
budaya instan dan tidak berpikir jangka panjang.Untuk mencegah kearifan lokal
agar terus ada dan berkembang kita semua memiliki tanggung jawab untuk
memeliharanya. Kalau bukan kita yang menjaga kearifan lokal di Indonesia siapa
lagi yang akan menjaganya. Marilah kita terapkan kearifan lokal dalam menjaga
lingkungan kita mulai dari diri kita sendiri, dari hal yang kecil dan mulai
saat ini.
Untuk
mulai menerapkan kearifan lokal tentu saja kita harus mengetahui dan mengenal
kearifan lokal.Pertama kita mulai dari pengertian kearifan lokal.Menurut Petrasa
Wacana kearifan lokal merupakan
seperangkat pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu kelompok masyarakat
setempat (komunitas) yang terhimpun dan terangkum dari pengalaman panjang
manusia menggeluti alam dalam ikatan hubungan yang saling menguntungkan kedua
belah pihak (manusia dan lingkungan) secara berkelanjutan dan dengan ritme yang
harmonis. Kemudian kita lanjutkankan dengan kearifan lokal yang spesifik
mengenai lingkungan yaitu kearifan lingkungan.Kearifan lingkungan (ecological
wisdom) merupakan pengetahuan yang diperoleh dari abstraksi pengalaman adaptasi
aktif terhadap lingkungannya yang khas.Pengetahuan tersebut diwujudkan dalam
bentuk ide, aktivitas dan peralatan.Kearifan lingkungan yang diwujudkan ke
dalam tiga bentuk tersebut dipahami, dikembangkan, dipedomani dan diwariskan
secara turun-temurunoleh komunitas pendukungnya.Sikap dan perilaku menyimpang
dari kearifan lingkungan, dianggap penyimpangan (deviant), tidak arif, merusak,
mencemari, mengganggu dan lain-lain. Kemudian kita juga dapat menggali
lebih dalam lagi mengenai kearifan lingkungan. Kearifan lingkungan dimaksudkan
sebagai aktivitas dan proses berpikir, bertindak dan bersikap secara arif dan
bijaksana dalam mengamati, mamanfaatkan dan mengolah alam sebagai suatu
lingkungan hidup dan kehidupan umat manusia secara timbal balik. Kesuksesan
kearifan lingkungan itu biasanya ditandai dengan produktivitas, sustainabilitas
dan equtablitas atau keputusan yang bijaksana, benar, tepat, adil, serasi dan
harmonis.
Menurut Munsi Lampe melalui artikelnya yang berjudul “Kearifan
Tradisional Lingkungan Belajar dari Kasus Komunitas-Komunitas Petani dan
Nelayan Tradisional” Kearifan lingkungan di Indonesia menjadi topik
perbincangan yang menarik, bahkan mendesak kepentingannya sehubungan dengan isu
program rehabilitasi dan pengelolaan lingkungan, khususnya lingkungan ekosistem
laut (mangrof dan terumbu karang) yang mengalami kerusakan pada hampir semua daerah
perairan pantai dan pulau - pula, yang menurut hasil penelitian, banyak
diakibatkan oleh perilaku pemanfaat, terutama komunitas-komunitas nelayan itu
sendiri.
2.2 Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan
Sejarah
peradapan telah menunjukkan betapa usaha manusia untuk meningkatkan
kesejahteraan hidupnya telah menimbulkan kesengsaraan berupa bencana alam yang
disebabkan karena manusia tidak mampu mengendalikan ketamakannya.Mengalami hal
tersebut, manusia mulai berfikir dan bekerja secara aktif untuk memahami
lingkungannya yang memberikan tantangan dan mengembangkan cara-cara yang paling
menguntungkan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup yang terus cenderung
meningkat dalam jumlahnya, ragam dan mutunya.
Manusia
berusaha memahami alam semesta beserta isinya, memilah-milah gejala yang nampak
nyata atau tidak nyata ke dalam sejumlah kategori untuk mempermudah mereka
dalam menghadapi alam secara lebih efektif.Dengan kemampuan bekerja dan
berfikir secara metaforik, manusia tidak lagi mengandalkan naluri dalam
beradaptasi dengan lingkungan.Ia mulai secara aktif mengolah sumberdaya alam
dan mengelola lingkungan sesuai dengan resep-resep budaya yang merupakan
himpunan abstraksi pengalaman mereka menghadapi tantangan. Manusia dalam
beradaptasi, mengembangkan kearifan lingkungan yang berwujud ideasional berupa
pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya, aktifitas serta peralatan,
sebagai hasil abstraksi pengalaman yang dihayati oleh segenap masyarakat
pendukungnya dan yang menjadi pedoman atau kerangka acuan untuk melihat,
memahami, memilah-milah gejala yang dihadapi serta memilih strategi bersikap
maupun bertindak dalam mengelola lingkungan.
Keanekaragaman
pola-pola adaptasi manusia terhadap lingkungan, terkadang tidak mudah
dimengerti oleh pihak ketiga yang mempunyai latar belakang sosial dan
kebudayaan yang berbeda.Namun demikian, keanekaragaman pola-pola adaptasi
terhadap lingkungan tersebut merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembangungan yang berkelanjutan.
Masyarakat
Indonesia dengan ribuan komunitas mengembangkan kearifan lokal sesuai dengan
karakterisktik lingkungan yang khas. Secara suku bangsa terdapat lebih kurang
555 suku bangsa atau sub suku bangsa yang tersebar di wilayah Kepulauan
Nusantara. Dalam beradaptasi terhadap lingkungan, kelompok-kelompok masyarakat
tersebut mengembangkan kearifan lingkungan sebagai hasil abstraksi pengalaman
mengelola lingkungan.Sering kali pengetahuan mereka tentang lingkungan setempat
sangat rinci dan menjadi pedoman yang akurat bagi masyarakat yang mengembangkan
kehidupan di lingkungan pemukiman mereka.Pengetahuan rakyat itu biasanya
berbentuk kearifan yang sangat dalam maknanya dan sangat erat kaitannya dengan
pranata kebudayaan, terutama pranata kepercayaan (agama) dan hukum adat yang
kadang-kadang diwarnai dengan mantra-mantra.Ia merupakan kumpulan abstraksi
pengalaman yang dihayati oleh segenap anggota masyarakat pendukungnya dan
menjadi pedoman atau kerangka acuan untuk melihat, memahami dan memilah-milah
gejala yang dihadapi serta memilih strategi dalam bersikap maupun bertindak
dalam mengelola lingkungan. Perbedaan acuan, pandangan/penilaian, standar,
ukuran atau kriteria tersebut, dapat menimbulkan benturan atau konflik antara
masyarakat lokal dengan pengusaha maupun pemerintah.Padahal, pembangunan
berkelanjutan memungkinkan pemanfaatan kearifan dan sumber-sumber daya sosial
sebagai modal dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Kurangnya perlindungan
atau penghormatan terhadap kearifan lingkungan yang dikembangkan masyarakat
lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alama,
antara lain disebabkan oleh kurangnya pemahaman para pihak terkait
(stakeholders) dan tidak bersedianya informasi mengenai kearifan lingkungan.
Sejumlah konflik yang muncul mengenai lingkungan lebih banyak melibatkan
masyarakat adat dengan masyaralat lain yang tidak mengalami kearifan lokal dan
adat suatu masyarakat tentang bagaimana masyarakat tersebut mengelola
lingkungannya secara tradisional termasuk pelanggaran pemilikan tanah secara
adat. Karena itu, langkah yang tepat dalam usaha untuk mewujudkan kearifan
lingkungan adalah dengan mengkaji kembali tragedi yang ada di masyarakat
tentang usaha mereka untuk mewujudkan keseimbangan kehidupannya dengan
lingkungannya.Tradisi dan aturan lokal yang tercipata dan diwariskan turun
menurun untuk mengelola lingkungan, dapat merupakan materi penting bagi
penyusunan kebijakan yang baru tentang lingkungan.Norma-norma yang mengatur
kelakuan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya, ditambah dengan
kearifan ekologi tradisional yang mereka miliki, merupakan etika lingkungan
yang mempedomani perilaku manusia dalam mengelola lingkungannya.
Kriteria kearifan lokal yang
terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup) terdiri dari:
1. Nilai-Nilai
luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat
2. Melindungi
dan mengelola lingkungan hidup secara lestari dan berkelanjutan
Kriteria Pengetahuan Tradisional
(PT) terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Harry Alexander dan
Miranda Risang Ayu, 2011), secara garis-besar, adalah:
1. Dihasilkan,
direpresentasikan, dikembangkan, dilestarikan, dan ditransmisikan dalam konteks
tradisional dan antargenerasional,
2. Secara
nyata dapat dibedakan, atau diakui menurut kebiasaan, sebagai berasal dari
suatu komunitas masyarakat hukum adat, yang melestarikan dan mentransmisikan
Pengetahuan Tradisional (PT) tersebut dari generasi ke generasi, dan terus
menggunakan dan mengembangkannya dalam konteks tradisional di dalam komunitas
itu sendiri,
3. Merupakan
bagian integral dari indentitas budaya suatu masyarakat hukum adat, yang
dikenal dan diakui sebagai pemegang hak atas Pengetahuan Tradisional (PT) itu
melalui aktivitas pemangkuan, penjagaan, pemilikan kolektif, maupun
tanggung-jawab budaya. Kaitan antara Pengetahuan Tradisional (PT) dan
pemangkunya ini dapat diungkapkan, baik secara formal atau informal, melalui
praktek-praktek kebiasaan atau praktek-praktek tradisional, protokol, atau
hukum nasional yang berlaku.
4. Diwariskan
dari generasi ke generasi, meski pun pemakaiannya mungkin tidak terbatas lagi
di dalam komunitas terkait saja.
3 Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan
di Wilayah Baduy
Baduy, jika mendengar kata ini pasti
pikiran kita langsung tertuju pada suku yang primitif, miskin dan
konservatif.Namun, mereka memiliki karifan lokal dalam mengelola
lingkungannya.Di Baduy banyak hunian pendudukan berdekatan dengan sungai, tetapi
tidak terjadi bencana banjir melanda permukiman.Hal ini karena masyarakat Baduy
memiliki metode pengelolaan alam khususnya hutan di kawasan Bumi Baduy.
Ignas Triyono, Pemenang Terbaik
Kategori Umum Lomba Opini Hutan Lindung, PP 02/2008 dan Keselamatan Rakyat
menulis dalam Belajarlah Lingkungan Hidup ke Bumi Baduy.Tanah di Baduy dibagi
menjadi tiga peruntukan; yaitu sebagai lahan perladangan, permukiman, serta
hutan lindung.Suku Baduy mempunyai areal yang dijadikan hutan lindung.Hutan
lindung berfungsi sebagai areal resapan air. Pepohonan di areal ini tidak boleh
ditebang untuk dijadikan apa pun, termasuk untuk ladang. Hutan ini juga
membantu menjaga keseimbangan air dan kejernihan air di Baduy, terlebih di
Baduy Dalam.
Kesadaran masyarakat Baduy terhadap
lingkungan hidup, khususnya dalam menjaga kelestarian hutan dan air sungguh
luar biasa. Ada di sana ada pikukuh (adat yang kuat) yang diturunkan dari generasi
ke generasi. Salah satu pikukuh itu berbunyi
”Gunung teu meunang dilebur, Lebak teu meunang diruksak,
Larangan teu meunang dirempak, Buyut teu meunang dirobah, Lojor teu meunang
dipotong, Pondok teu meunang disambung”
(Gunung tidak boleh dihancurkan, Lembah tidak boleh rusak,
Larangan tidak boleh langgar,Amanat tidak boleh dirubah, Panjang tidak boleh
dipotong, Pendek tidak boleh disambung)
Makna pikukuh itu antara lain tidak
mengubah sesuatu, atau dapat juga berarti menerima apa yang sudah ada tanpa
menambahi atau mengurangi yang ada. Insan Baduy yang melanggar pikukuh akan
memperoleh ganjaran adat dari puun (pimpinan adat tertinggi) seperti
dikeluarkan dari kelompoknya..Pengamalan pikukuh yang taat menyebabkan
masyarakat Baduy memiliki kearifan dalam berhubungan dengan alam.
Harim Zone
Salah satu kearifan yang berasal
dari ajaran agama adalah harim zone. Fachruddin Mangunjaya penulis buku
Khazanah Alam: Menggali Tradisi Islam untuk Konservasi seperti yang dikutip
oleh Majalah Sabili mengatakan bahwa, harim zone mewajibkan setengah dari lebar
sungai ke kiri dan ke kanan, terbebas dari bangunan dan membiarkan vegetasi
serta tumbuhan bebas sebagai penyangga sungai. ”Selain itu, hal ini untuk
membuat daerah resapan sungai.Di zaman Rasulullah pendirian bangunan di
bantaran sungai dilarang untuk memelihara ekstensi air,” jelasnya.Tradisi ini
dihidupkan kembali sebagai sumbangan pada pemeliharaan lingkungan yang
dianjurkan oleh ajaran Islam.
Sekilas suku baduy memiliki cirri Baju tak pernah ganti, kemana-mana selalu
jalan kaki. Tapi tunggu dulu, jangan lupa pepatah bijak tersurat: “jangan lihat
jeruk dari kulitnya”. Suku Baduy
menempati 53 kampung di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten
Lebak.Perkampungan masyarakat Baduy pada umumnya terletak pada daerah aliran
sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng - Banten Selatan.Letaknya sekitar 172 km
sebelah barat ibukota Jakarta; sekitar 65 km sebelah selatan ibukota Provinsi
Banten.Baduy dibagi menjadi dua, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Secara garis
besar, adat yang dipegang Baduy Dalam dan Baduy Luar sama. Secara tradisional
pimpinan tertinggi pemerintahan pada masyarakat Baduy disebut puun.
Kearifan lokal masyarakat Baduy adalah energi potensial dari
sistem pengetahuan kolektif untuk hidup di atas nilai-nilai yang membawa
kelangsungan hidup yang berkeadaban.Hidup damai.Hidup rukun.Hidup
bermoral.Hidup saling asih, asah, dan asuh.Hidup dalam keragaman.Hidup penuh
maaf dan pengertian.Hidup toleran dan jembar hati.Hidup harmoni dengan
lingkungan.Hidup dengan orientasi nilai-nilai yang membawa pada
pencerahan.Hidup untuk menyelesaikan persoalan-persoalan berdasarkan mozaik
nalar kolektif sendiri.Kearifan seperti itu tumbuh dari dalam lubuk hati
masyarakat Baduy.
Lewat sistem kepercayaan, adat, serta
niat untuk menjaga keseimbangan alam, suku Baduy terbukti mampu menghidupi diri
mereka sekaligus melestarikan alam. Bagi orang-orang Baduy, secuilpun tak akan
berani mengganggu keutuhan dan kelestarian hutan-hutan titipan. Karena derajat
kedosaannya bila mengganggu hutan jauh lebih tinggi dari dosa membunuh sesama
manusia.Apalagi bagi orang Baduy yang beragama Sunda Wiwitan, menjaga alam
merupakan kewajiban dan tiang dasar agamanya, sehingga harus ditaati dan
dilaksanakan dengan penuh kepasrahan. Kewajiban tersebut tersirat dalam
pegangannya: Lonjor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (Panjang
tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung).
Kehidupan suku Baduy memiliki ketergantungan besar terhadap
alam.Ketergantungan ini diimbangi dengan menjaga alam dari kerusakan.Tanah di
Baduy dibagi menjadi tiga peruntukan, yaitu sebagai lahan perladangan,
permukiman, serta hutan lindung.Suku Baduy mempunyai areal yang dijadikan hutan
lindung.Hutan lindung berfungsi sebagai areal resapan air. Pepohonan di areal ini
tidak boleh ditebang untuk dijadikan apa pun, termasuk untuk ladang.Hutan ini
juga membantu menjaga keseimbangan air dan kejernihan air di Baduy, terlebih di
Baduy Dalam.
Pada era otonomi daerah, Desa Kenekes
ditetapkan sebagai tanah hak ulayat, seperti yang tertuang dalam Peraturan
Daerah (Perda) Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas
Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Dengan tanah hak ulayat seluas 5.136,58 hektar,
masyarakat Baduy mendapat kewenangan untuk mengelola sendiri kawasan adat
tersebut.Dan, inilah satu-satunya masyarakat adat di Indonesia yang sudah
memiliki regulasi yang mengakui hak-hak masyarakat adat.Kiranya, kearifan lokal
Baduy ini bisa menjadi cermin bagi wilayah-wilayah lainnya pada masa otonomi
daerah saat ini.
Selain itu, orang baduy
menambah ketatnya pelastarian alam mereka dengan upacara adat, salah satu
upacara tersebut yang bernama, upacara kawalu.Upacara ini pada dasarnya
bagi orang baduy adalah melakukan bersih-bersih kampung, baik baduy luar, baduy
dalam, dan baduy dangka.Di moment upacara kawalu ini pula, orang baduy
melakukan pembersihan terhadap sampah-sampah yang berada di sungai ciujung.
Sedikit informasi, bulan kawalu adalah bulan suci bagi orang baduy, selama
bulan lawalu, akan diadakan beberapa upacara adat lama orang baduy khususnya di
kampung baduy dalam.
Mengenai
soal keramatnya hutan lembur atau hutan larangan tersebut, ada hal yang
ternyata bertujuan lain dengan adanya label keramat di hutan tersebut, secara
tersirat Puun menyebut bahwa adanya mata air di dalam hutan tersebut menjadi
hal yang wajib untuk dilindungi oleh masyarakat baduy dengan berbagai cara.
Artinya label keramat semata dilekatkan untuk membuat orang luar baduy menjadi
enggan untuk mengunjungi hutan tersebut.
Belajar kembali dari pikukuh Lojor teu meunang dipotong,
Pondok teu meunang disambung bahwa
orang masih mewarisi siat nenek moyang kita yaitu pola hidup sederhana. Mereka
adalah kelompok otonom yang selalu bersukur dengan apa yang di dapat dan tidak
bergantung pada kelompok lain. Mereka mencukupi diri sendiri begitu rupa
sehingga kalau ada anak yang tidak menghabiskan nasi maka akan di takut takuti
dengan peringatan bahwa nasi itu akan menangis.
Itulah sebabnya ada beberapa
ritual untuk panen dan sebagainya semata mata karena mereka sangat menghormati
padi sehingga muncul kepercayaan metafisik.
Pada
masyarak petani ladang, hutan adalah bagian dari ladang dan masyarakat
manusia.Hancurnya hutan berarti hancurnya ladang dan akhirnya hancurnya
manusia. Oleh sebab itu mereka selalu mengenal adanya hutan larangan.dengan
adanya pikukuh Gunung teu meunang dilebur, Lebak teu meunang diruksak,
Larangan teu meunang dirempak, jelaas bahwa suku baduy telah jauh mengenal
dirinya mengenal alam lingkunganya dan mengenal penciptanya. Mereka mempunyai
pengatahuan yang lebih dari kita sebagai manusia modern dan telah menerapkanya
sejak lama.
2.4
Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan di Wilayah Gunung Halimun
Kawasan Gunung Halimun di
Jawa Barat adalah suatu kompleks pegunungan yang secara administrative berada
di wilayah tiga Kabupaten dalam dua Provinsi. Yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten
Sukabumi (Provinsi Jawa Barat) dan Kabupaten Rangkasbitung (Provinsi Banten). Kompleks Gunung
Halimun termasuk kawasan hutan hujan tropis yang relatif masih “utuh” yang
tersisa di Pulau Jawa. Kawasan hutan ini masih mampu menyimpan berbagai jenis
habitat tumbuhan yang masih hidup di Pulau Jawa yang cukup lengkap.
Masyarakat desa di sekitar Gunung Halimun pada umumnya
merupakan penduduk asli yang bermukim di kawasan yang cukup datar di sepanjang
jalan desa. Kelompok sosial yang bermukim di sekitar bukit-bukit dan
gunung-gunung di kawasan kompleks Gunung Halimun itu menamakan dirinya warga
kasatuan atau kesatuan. Mereka lazim pula disebut oleh masyarakat desa pada
umumnya warga kasepuhan.
Di daerah Banten Selatan warga kasepuhan bermukim di sekitar Kecamatan Bayah yang antara lain
terkonsentrasi di Kampung Tegalumbu, Cicarucub, Cisungsang, Cicemet, Sirnagalih,
dll. Kawasan Kompleks Gunung Halimun dari arah selatan ke utara dan timur
dibangun oleh gunung-gunung Cisarua (855 m), Bodas (965 m), Batu (1.323 m),
Talang (1.329 m), Pangkulahan (1.315 m), Kendeng (1.764 m), dll. Gunung Halimun
sendiri merupakan gunung tertinggi diantara gunung-gunung yang ada. Namun,
menurut keterangan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan gunung tersebut,
nama “halimun” bukan menunjukan salah satu gunung yang ada di seputar kawasan
tersebut. Nama “Halimun” mewakili semua gunung disana yang puncaknya selalu
ditutupi awan atau halimun dalam bahasa Sunda.
Sebagai masyarakat yang masih mempertahankan pola hidup
tradisional dalam keseharianya, ada beberapa hal yang masih dijaga oleh
masyarakat kasepuhan, diantaranya adalah keberadaan konsep hutan sebagai bagian
penting dari kehidupan masyarakat adat.
a)
Leuweung
kolotatau biasa pula mereka sebut leuweung geledegan yaitu hutan yang masih lebat ditumbuhi
berbagai jenis pohon besar dan kecil (geledegan). Ciri-ciri jenis hutan tersebut ialah pepohonanya
rimbun, tingkat kerapatanya tinggi, dan berbagai jenis binatang masih hidup di
dalamnya. Di sekitar wilayah desa Bungur, jenis hutan seperti diatas, terdapat
di sekitar kawasan cagar alam gunung Halimun.
b)
Leuwueng
sampalan yaitu hutan yang dapat dieksploitasi manusia
secara luas. Pada jenis hutan ini, manusia boleh membuka ladang, menggembalakan
ternak, mengambil kayu bakar dll. Di desa Bungur jenis hutan itu biasa pula
disebut leuwung bukaan atau hutan
yang dapat dibuka. Jenis hutan ini terletak di sekitar tempat pemukiman.
c) leuweung titipan adalah hutan yang diakui oleh semua warga kasepuhan sebagai hutan keramat. Jenis
hutan semacam ini sama sekali tidak boleh dieksploitasi oleh siapa pun pun
tanpa seizing sesepuh girang. Kelestarianya
harus dipertahankan. Penggunaan hutan tersebut dimungkinkan apabila telah
diterima semacam wangsit atau ilapat dari nenek moyang melalui sesepuh girang. Di kalangan warga kasepuhan , gunung Ciawitali dan Gunung Girang Cibareno dipercayai
sebagai leuweung titipan.
Baik di kalangan
warga kasepuhan maupun kalangan orang
Baduy di daerah Banten Selatan tampaknya memiliki konsep dan penggolongan yang sama tentang pengetahuan mereka mengenai
hutan. Leuweung lembur di kalangan
orang Baduy merupakan hutan yang ada di sekitar kampong yang pada mulanya
merupakan leuweung kolot yang kemudian dibuka atau digarap untuk
dijadikan lading dan lahan pemukiman. Leuwueng
lembur itu agaknya identik dengan leuweung sampalan yang bagi masyarakat kasepuhan pada awalnya merupakan
leuwueung kolot yang berada di sekitar kampung yang kemudian dibuka untuk
menjadi lading dan penggembalaaan.
Berdasarkan
pandangan tradisional, sebagaimana yang berlaku di kalangan warga kasepuhan,
hutan yang termasuk leuweung kolot sesungguhnya tidak boleh dieksploitasi
sedangkan leweung titipan hanya boleh digunakan apabila sudah ada perintah dari
nenek moyang (karuhun) yang disampaikan melalui wangsit atau ilapat yang
diterima sesepuh girang.Hanya leweung sampalan yang terbuka untuk digarap
setiap saat oleh warga kasepuhan dalam usaha mendukung kebutuhan hidup mereka.
Namun,
seiring dengan berjalanya waktu, konsep-konsep pengetahuan tradisional tentang
hutan ini sedikit tergeser oleh kehadiran oknum-oknum yang terus saja berusaha
mengambil keuntungan di tengah lahan yang terus saja semakin berkurang di pulau
Jawa.Kehadiran perusahaan-perusahaan besar baik skala nasional maupun asing
yang muncul untuk mengeksploitasi hasil alam di sekitar kawasan Gunung Halimun,
mau tidak mau terkadang menjadi tekanan bagi masyarakat kasepuhan sendiri.
Tekanan-tekanan dari
luar yang terus menerus berlangsung cukup lama itu, membawa pengaruh psikis
yang dalam terhadap masyarakat setempat. Hal itu dapat diamati dalam pola
kehidupan warga kasepuhan antara lain dalam cara memahami hutan. Pengaruh luar
yang selama ini mereka dapatkan melalui eksploitasi hutan tidak sesuai dengan
penggolongan system pengetahuan mereka tentang hutan. Hal demikian sesungguhnya
sangatlah membingungkan mereka bahkan mengakibatkan hilangnya pandangan akan
pengetahuan tradisional bagi sebagian penduduk. Salah satunya bagi masyarakat
yang berprofesi sebagai peladang dimana berarti huttan adalah tempat
penghidupan mereka, tentu kelestarian hutan haruslah dijaga.Sikap yang demikian
tersebut dapat dipahami dari terminology kata huma yang berarti lading dan kata
leuwueng yang berarti hutan.
Bagi warga kasepuhan
kata huma berarti imah atau rumah.Hal tersebut sesuai dengan arti kata
tersebut.Dalam pandangan yang demikian, maka rumah bagi warga kasepuhan bukan
hanya tempat untuk tidur, tetapi juga merupakan sumber utama rohani dan
jasmani.
Ada 5 (lima) jenis
interaksi dan cara memanfaatkan lingkungan dalam masyarakat Kasepuhan,
diantaranya adalah :
a)
Pekarangan
Bagi kebanyakan
masyarakat, pengertian pekarangan bukanlah lagi sebagai sebuah lahan di sekitar rumah, namun terkadan pekarangan
dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang bersifat ekonomis. Namun, pada
pola pemukiman masyarakat sunda yang masih mengenal system peladangan,
sebagaimana yang ditunjukan oleh masyarakat kasepuhan, masyarakat kampong
naga dan masyarakat baduy, sesungguhnya
mereka tidak mengenal pekarangan. Dalam pola pemukiman ketiga masyarakat adat
di sekitar pulau jawa bagian barat ini hanya dikenal buruan atau halaman yang
lebih menekankan pada fungsi sosial daripada fungsi ekonomi.
b)
Ladang (huma)
Pada
umumnya, masyarakat kasepuhan berladang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
mereka terutama dalam kebutuhan
sehari-hari. Namun, tekanan para petugas kehutanan terhadap penduduk, khususnya
anggota warga kasepuhan yang melakukan perladangan, benar-benar telah
mengurangi kawasan garapan mereka walaupun hanya untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi sendiri. Pelarangan berladang bagi masyarakat kasepuhan tampaknya
menimbulkan penderitaan sosial ekonomi yang cukup berat bagi masyarakat
kasepuhan. Larangan tersebut juga secara sosial menghancurkan kesatuan
kelompok. Dengan kata lain pelarangan akan menimbulkan disintegrasi sosial dan
secara ekonomi mencuatkan kemisikinan baru pada mereka.
c) Talun
Talun adalah kebun yang terletak jauh
dari perkampungan yang frekusensi pemeliharaanya tidak begitu intesnsif
dibandingkan dengan kebun yang letaknya berdekatan dengan pemukiman. Jenis
tumbuhan yang biasanya ditanam antara lain rambutan, nangka, durian, petai dan
mangga.
d) Sawah
e)
Hutan
2.5
Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan di Wilayah Kampung Naga
Kampung Naga
berada di lereng gunung dengan kemiringan hampir 45º pada ketinggian 450 meter
dpl. Luas wilayah 1,5 Ha (Legana Sa Naga) dihuni warga masyarakat
Kampung Naga (seuweu siwi Naga) yang jumlahnya 310 jiwa dengan KK 99
(2010). Jumlah bangunan (102 buah), penduduk, dan KK relatif tetap.
Masyarakat Kampung Naga termasuk masyarakat tradisional yang dipersatukan oleh
adat istiadat yang terus dipertahankan dan dilestarikan dan dijadikan sebagai
pedoman hidup warganya.
Eksistensi masyarakat Kampung
Naga dalam tatanan hidup bermasyarakat dan kondisi alam menunjukkan pengetahuan
lokal (indigenous knowledge) dan kemampuan berpikir dan berperilaku bijaksana.
Cara dan kebiasaan yang bersifat praktis-pragmatis dalam mengatasi permasalahan
dan memiliki kebenaran normatif telah melembaga menjadi adat istiadat dan
menjadi pedoman hidup adalah refleksi dari nilai-nilai kearifan local.
Nilai-nilai kearifan lokal yang mendasari cara
berpikir dan berperilaku terefleksikan di dalam tatanan hidup bermasyarakat,
pengelolaan dan pendayagunaan lingkungan alam yang terus dipertahankan hingga
lingkungan hidup memberikan daya dukung berkelanjutan bagi masyarakat Kampung
Naga. Masyarakat Kampung Naga memiliki pola hidup sederhana, kebersamaan, pola
pemukiman dan rumah, tata ruang, dan menghargai dewi sri (padi).
Pola hidup sederhana tercermin dalam
ungkapan: teu saba, teu boga, teu banda teu boga, teu weduk teu bedas, teu
gagah teu pinter, dan amanat ti kolot sacekap-cekapna sakieu wae
(tidak bepergian, tidak punya, tidak memiliki harta kekayaan, tidak kebal tidak
kuat, tidak gagah tidak pandai, dan sekian amanat dari leluhur). Ungkapan
tersebut memiliki nilai filosofis sebagai landasan berperilaku. Hidup
sederhana tidak menjadikan mereka hidup miskin, melainkan menunjukkan
kemandirian dengan mengelola sumber daya alam sesuai kebutuhan dan budaya (culturally
defined resources) yang tersedia di lingkungannya (man ecological
dominant).
Hakikat hidup adalah suatu amanat
bahwa manusia hidup memiliki ikatan dengan alam sebagai sumber kehidupannya,
sehingga amanat tersebut tetap dipertahankan karena telah berfungsi
mempertahankan eksistensinya dalam lingkungan alam dan lingkungan sosial.Mereka
tidak fatalistik, melainkan menyadari adanya nasib, takdir, dan kekurangan
serta keterbatasan, baik yang dimiliki manusia maupun lingkungan. Hidup
sederhana dan damai adalah adanya keharmonisan dalam lingkungan sosial
dan lingkungan alam. Ketatanan melaksanakan amanat tersebut menunjukkan
keteraturan hidup bermasyarakat yang merefleksikan nilai-nilai kearifan
lokal dalam kehidupan yang bersahaja, mengutamakan kedamaian, dan kebersamaan.
Gotong royong dan kebersamaan atau
keguyuban merupakan hakikat kehidupan manusia yang saling membutuhkan satu sama
lain. Mereka sangat menyadari keterbatasan dapat diatasi dengan
kebersamaan.Ketaatan terhadap adat istiadat adalah wujud kepedulian terhadap
para leluhur yang telah menciptakannya, mempertahankan kebersamaan,
mengutamakan kedamaian antar warga, dan menghindari konflik internal.Gotong
royong dan kebersamaan dalam kegiatan sosial seperti mendirikan rumah,
pelaksanaan upacara dalam berbagai aspek kehidupan menunjukkan kebersamaan,
mentaati tata tertib, dan kesamaan derajat atau status sebagai warga masyarakat
Kampung Naga.
Rumah (bumi=tanah) bagi warga
masyarakat tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, melainkan memiliki
fungsi sosial, fungsi spiritual, dan fungsi falsafiah. Pemilihan tempat,
proses pembangunan, arah dan bentuk serta material yang digunakan mencerminkan
ketaatan terhadap nilai-nilai kearifan lokal.Bangunan rumah adalah jenis rumah
panggung tradisional berukuran 8x5 meter yamg memanjang arah Barat-Timur.
Rumah terdiri atas lima ruangan yaitu: ruang depan, ruang tengah, ruang
tidur, ruang goah, dan dapur. Material bahan bangunan terdiri atas: batu
(tatapakan), kayu/bambu (tiang, dinding, dan lantai), ijuk dan daun tepus
(atap) serta tidak menggunakan bahan yang berasal dari metal (misalnya paku).
Pola pemukiman mengikuti garis
kontur (ngais pasir), jumlah bangunan tetap yang diperuntukan bagi rumah
warga, mesjid, bumi ageung, dan ruang pameran berbagai hasil karya warga.
Bangunan rumah didirikan secara berundak dengan membuat teraserring
menggunakan batu kali tanpa semen, mengisi ruang hidup yang berupa lereng untuk
menjaga terjadinya longsor. Pola pemukiman dan rumah dibangun mengikuti
tata aturan dan diawali dan diakhiri dengan upacara selamatan, sehingga
memberikan ketenangan bagi penghuninya.Dari rumah semua datangnya pancaran rasa,
karsa, dan karya.Karena itu segala sesuatu yang berhubungan dengan rumah
dianggap sakral atau suci.Hal ini tercermin dengan jelas di dalam pola
pembagian ruangan dalam rumah dan kesatuannya dengan lingkungan alam.
Tata ruang Kampung Naga mencerminkan
nilai-nilai kearifan lokal yang ditunjukkan dengan adanya pembagian wilayah.
Tata ruang terbagi ke dalam tiga wilayah adat, yakni: (1) wilayah terlarang,
yaitu kawasan makam (pasarean) dan hutan naga yang tidak boleh dijamah oleh
siapapun.Disamping itu hutan larang berfungsi sebagai pengontrol ekologis
lingkungan disekitarnya. Perlindungan itu diwujudkan dalam konsep pelestarian
hutan lindung di hulu Sungai Ciwulan.Tak heran jika beragam pohon besar hingga
variasi tanaman obat tumbuh subur di Hutan Biuk itu.menurut warga disana, siapa
pun tidak boleh masuk ke Hutan Biuk yang terletak di kaki Gunung Karacak,
termasuk warga Kampung Naga. ”Jangankan menebang pohon dan memanfaatkannya,
masuk ke hutan saja, orang tidak boleh, kecuali diizinkan oleh tetua adat,” katanya.”Karuhun”
Naga juga mewanti-wanti. Jika ada pohon tumbang di Hutan Biuk, warga sama
sekali tidak boleh menjamahnya. ”Biarkan batang kayu itu membusuk dengan
sendirinya,” kata Ucu.Kalaupun mendapat izin untuk mengambil tanaman obat di
sekitar hutan, warga Kampung Naga harus mematuhi perintah tetua adat.”Misalnya,
hanya satu kaki yang boleh menginjak Hutan Biuk.Dan.satu kaki lainnya harus
berada di luar kawasan hutan.Mereka memang seperti tidak mau hutan adat itu
diberikan beban berat kaki manusia,” papar Ucu.
Untuk menjaga kelestarian air,
masyarakat Kampung Naga juga dilarang mengambil ikan sembarangan.Hanya saat
tertentu, adat memperbolehkan masyarakat mengambil ikan dalam jumlah besar.Saat
itu dinamakan masyarakat Naga sebagai upacara adat Marak.Tradisi marak adalah
membendung sebelah Sungai Ciwulan di pinggir kampung untuk mencari ikan-ikan di
sungai tersebut.Hampir semua laki-laki warga kampung ikut turun untuk
membendung Sungai Ciwulan.Setelah airnya surut, ikan- ikan pun gampang
ditangkap.Warga yang mencari ikan kokolot Naga dilarang menggunakan racun kimia
berbahaya. Kalaupun menggunakan ”racun”, racun itu berasal dari obat
tradisional, yang ramuannya dari akar pohon tertentu yang boleh digunakan untuk
memabukkan ikan. ”Jadi, kalau menggunakan racun kimia, bukan hanya ikan yang
mati, melainkan kehidupan kami,” kata warga lainnya.Kearifan lokal inilah yang
membuat kawasan kampung naga tetap asri dan damai.
Wilayah
produktif, yakni kawasan pertanian sawah; dan wilayah inti (legana sa naga),
yakni kawasan pemukiman dan wahana berlangsungnya aktivitas kemasyarakatan.Masyarakat
Kampung Naga membagi penggunaan lahan kedalam 3 bagian yaitu: 1. Kawasan Suci,
yaitu sebuah bukit kecil di sebelah barat perkampungan yang sering disebut
hutan larangan. Di kawasan inilah terdapat makam leluhur setempat.Disamping itu
hutan larang berfungsi sebagai pengontrol ekologis lingkungan
disekitarnya.Kearifan lokal inilah yang membuat kawasan kampung naga tetap asri
dan damai.2. Kawasan Bersih, yaitu kawasan yang bebas dari benda-benda yang
mengotori kampung baik sampah rumahtangga maupun hewan. Kawasan ini dibatasi
pagar dari bambu.3. Kawasan Kotor, Kawasan ini diperuntukkan untuk kegiatan
penunjang kehidupan lainnya yang tidak mesti harus dibersihkan setiap saat. Di
dalam area ini terdapat WC, kolam, kadang ternak.Secara morfologis, kampung
naga berada di lereng bukit yang potensial terjadinya longsor.Wilayah terlarang
berada di bagian atas pemukiman sehingga menjadi daerah konsevasi dalam upaya
pelestarian lingkungan hidup.Wilayah produktif berada di gerbang memasuki
kampung naga (wilayah inti).Ketiga wilayah tersebut dipergunakan sesuai dengan
peruntukkannya dan sampai sekarang tidak mengalami perubahan. Prinsip
pelestarian lingkungan yang dilakukan masyarakat berdasarkan etika lingkungan
yang berkelanjutan bahwa lingkungan sebagai sumberdaya memiliki keterbatasan (World
Commision Environment and Development).
Padi bagi masyarakat Kampung Naga
tidak hanya menjadi bahan makan pokok, melainkan memiliki nilai spiritual sebagai
penghormatan dan ungkapan terima kasih terhadap Dewi Sri.Padi diperlakukan
dengan bijaksana mulai dari penanaman, pemeliharaan, panen sampai pasca panen
dan mengkonsumsinya.Bertani, tidak hanya sebagai mata pencaharian melainkan
tradisi yang terus dilestarikan. Bibit padi menggunakan jenis padi lokal dengan
masa tanam enam bulan (pare gede), tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida,
dan hasil panen disimpan di lumbung padi kampung. Kegiatan bertani
diawali dan diakhiri dengan upacara.
Masyarakat Kampung Naga memiliki pola pikir dan
perilaku sebagai hasil penyesuaian (conformity) dan ketaatan terhadap
nilai-nilai kearifan lokal.Keguyuban masyarakat tidak hanya berdasarkan
nilai-nilai kearifan lokal, melainkan dipersatukan oleh kesamaan leluhur dan
kesatuan ruang hidup. Nilai-nilai kearifan lokal pada masyarakat Kampung Naga
menjadi pedoman hidup yang terwujudkan dalam perilaku warganya terhadap
lingkungan, baik lingkungan sosial budaya maupun lingkungan alam sebagai
ekspresi hakikat manusia sebagai mahluk Tuhan, mahluk sosial, dan mahluk yang
merupakan bagian dari alam semesta.
2.6 Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan
di Wilayah Kampung Kuta
Kampung Kuta adalah dusun adat yang masih bertahan.Kampung
Kuta ini terletik di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari Kabupaten
Ciamis.Kampung adat ini dihuni masyarakat yang dilandasi kearifan lokal, dengan
memegang budaya pamali, untuk menjaga keseimbangan alam dan terpeliharanya
tatanan hidup bermasyarakat.
Kampung Kuta ini terletak di perbatasan Jawa
Barat dan Jawa Tengah.Namun, warga kampung menggunakan bahasa Sunda sebagai
bahasa sehari-hari tanpa sedikit pun tercampur bahasa Jawa. Begitu pula nama
orang harus menggunakan nama dari bahasa Sunda dan tidak boleh dari bahasa
Jawa.
Kampung yang berada diperbatasan Jawa Barat dan Jawa tengah
ini kini sudah mulai modern sejak listrik masuk kedaerahnya pada tahun
1994.Tapi kampong ini pernah mendapat penghargaan dari presiden pada tahun 2002
tentang penyelamat lingkungan.
Untuk sekarang masyarakat yang tinggal di kampong kuta
sekitar 120 kepala keluarga,
Ketua adat memimpin kampong, mengurus masyarakat mengurus adat dan mengatur
semua yang berhubungan dengan adat.Sedangkan untuk kuncen, hanya mengantar ke
hutan keramat.Untuk kuncen ini, biasanya turun temurun dari leluhurnya biasanya
diturunkan kepada anak laki-laki paling besar.
Kampung Kuta terletak di Desa Karangpaningal, Kecamatan
Tambaksari, Kabupaten Ciamis ini kampung adat yang berjarak sekitar 45
kilometer dari pusat kota Ciamis dan terbilang istimewa. Warga kampung seluas
97 hektar ini kukuh memelihara tradisi leluhur berusia ratusan tahun yang
membingkai kehidupan masyarakatnya.
Nama Kampung Kuta bisa jadi mengacu pada lokasi kampung di
lembah curam sedalam 75 meter dan dikelilingi tebing dan perbukitan.Dalam
bahasa Sunda, hal itu disebut kuta (artinya pagar tembok).Aliran listrik sudah
masuk ke kampung ini sejak 1996 sehingga memungkinkan warganya menikmati
peralatan elektronik, seperti televisi, radio, dan telepon seluler.Namun, warga
Kampung Kuta masih mempertahankan bentuk rumah tradisional khas Sunda.
Masyarakatnya
sampai saat ini masih memegang teguh melestarikan adat leluhurnya (karuhun),
amanat leluhurnya yang masih dipertahankan antara lain :
a.
Rumah panggung yang harus beratap rumbia atau injuk (tidak boleh permanen). Dalam membangun rumah atau tempat tinggalnya masyarakat
kampung Kuta berpegang teguh pada Pepatah atau amanah leluhurnya yaitu “Ulah
rek di kubur hirup-hirup, ulah ngabangun istana jadi astana” dalam bahasa
sunda yang artinya, Jangan mau dikubur hidup-hidup, jangan membangun istana
(rumah) yang menjadi astana (kuburan), jika kita artikan berdasarkan fenomena
yang terjadi saat ini yaitu gempa bumi yang melanda tasikmalaya beberapa waktu
lalu, pepatah tersebut menuntun khusunya masyarakat kampung Kuta umumnya kepada
kita semua untuk membangun rumah yang ramah akan gempa, ketaatan tersebut
membuahkan ketika peristiwa gempa bumi tersebut terjadi maka tak ada satupun
bangunan atau rumah kampung kuta yang rusak karena spesifikasi rumah kampung
adat memang merupakan rumah yang ramah akan gempa, sekalipun hancur maka
dampaknya tidak akan begitu parah jika menimpa penghuninya dikarenakan atap
rumah tersebut dibangun dengan rumbia atau injuk.
b.
Masyarakat kampung kuta memiliki kepercayaan dan adat
yang berkaitan dengan hutan keramat. Hutan keramat dianggap oleh masyarakat
sebagai tempat yang suci atau sacral sehingga masyarakat kampung kuta
memberlakukan berbagai aturan adat untuk melindungi hutan keramat tersebut
yaitu :
- Tidak boleh mengambil hasil hutan seperti kayu,
buah-buahan, hewan, dan lain sebagainya yang berada di dalam hutan keramat
- Tidak boleh memakai pakaian serba hitam, dan pekaian
seragam dinas atau seragam pemerintah.
- Tidak boleh meludah, buang sampah, buang air besar atau
kecil yang dapat mengotori hutan.
- Tidak boleh berkata tidak sopan atau istilah sundanya
“Sompral” di hutan keramat.
- Tidak boleh memakai alas kaki seperti sandal dan sepatu.
Selain itu mereka juga mempertahankan
tempat-tempat keramat (tabet-tabet) yaitu Leuwueng Gede, Gunung Wayang, Pandan
Domas, Gunung Barang, Cikasihan, Gunung Goong, dan Panyipuhan.
c.
Melakukan Upacara Adat setiap tahunnya yaitu :
1.
Nyuguh, diselnggarakan setiap bulan Mulud, yang bertujuan untuk
memperingati Maulid Nabi Besar Muhammad Saw, dan sebagai ungkapan rasa syukur
atas rejeki dan terhindar dari malapetaka.
2.
Hajat Bumi, diselenggarakan setiap Kalimangsa kapat atau pada masa
panen, tujuannya adalah ungkapan rasa syukur atas keberhasilan masyarakat
kampung kuta dala bercocok tanam, sekaligus memohon perlindungan untuk masa
cocok tanam yang akan datang, biasnya diselenggarakan pada bulan September
sampai Nopember atau hari-hari yang dianggap baik.
3.
Babarit ,diselenggarakan setiap ada kejadian alam seperti lini (gempa
bumi) dan kejadian alam lainnya
4.
Upacara mendirikan rumah atau ngadeugkeun dan mendiami rumah baru
setelah mendepatkan hari baik
d.
Penduduk yang meninggal harus dimakamkan di luar Kampung Kuta. Hal ini dikarenakan amanah dari leluhurnya untuk menjaga
kesucian tanah Kampung Kuta, berkaitan dengan kesucian tanah Kampung Kuta
mereka juga tidak boleh membangun tempat MCK(mandi cuci kakus) mereka
memilih untuk pergi kesungai jika hendak buang air dan sebainya.
e.
Masyarakat Memiliki Leuit atau penyimpanan gabah atau
padi hasil panen.Jika terjadi rawan pangan atau paceklik, ini
mengartikan bahwa kampung Kuta memiliki jiwa sosial yang tinggi dan memiliki
keinginan untuk menabung.
f.
Memelihara dan melestarikan Pohon Aren sebagai sumber
mata pencaharian utama masyarakat dusun Kuta membuat gula Aren
g.
Dilarang membuat sumur atau sumur bor, hal ini karena
dapat merusak tanah dan merusak jalur air yang ada di dalam tanah, dalam
mencukupi kebutuhan airnya mereka mengandalkan sumber mata air salah satunya
dari mata air ciasihan.
2.7
Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam
Berbicara masalah kearifan
lokal maka tidak akan terpisahkan dari konsep Tuhan, Manusia dan Alam. Karena
sejatinya, kata “arif” merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang berarti
“mengetahui”. Ketiga aspek ini merupakan satu kesatuan yang sebenarnya saling
berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Kita tidak akan memahami
Tuhan jika kita tidak memahami Alam dan Manusia, begitu pun sebaliknya. Dengan
contoh yang mudah, manusia dan alam merupakan salah satu bukti wujud adanya
Tuhan.
Masing-masing
memiliki cara tersendiri dalam memandang keberadaan Tuhan.Islam memaknai Tuhansebagai
zat yang terdapat dalam qalbu.Qalbu sendiri merupakan kamar kecil yang terdapat di dalamnya yaitu hati nurani
atau suara hati atau disebut dengan bashirah
merupakan satu titik kecil atau kotak kecil (black box) yang tersembunyi secara kuat dan rapih di dalam hati,
hati nurani merupakan hot line
manusia dengan Tuhan atau yangmenghubungkan manusia dengan tuhan atau disebut
dengan (god spot)titik Tuhan.
Esensi Tuhan dalam
ajaran islam adalah Esa(tunggal) yakni Allah yang Maha Esa, tidak ada yang
mengingkari ke-Esa-an Allah. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Itulah ajaran pertama
islam dimana umatnya diwajibkan untuk mentauhidkan Allah swt sebagai pencipta,
pelindung dan sesembahan yang berhak untuk disembah. Dalam bahasa ilmiah
dikenal dengan Monoteisme yaitu mempercayai adanya satu
tuhan.Tentunya lawan dari monoteisme adalah politeismeyakni percaya
lebih dari satu tuhan. Paham monoteisme inilah yang dianut oleh umat islam
dalam beragama. Islam sebagai agama samawi yang diyakini oleh umatnya sangat
menjunjung tinggi ke-Esa-an tuhan. Para ulama salafiayah yang ahli dalam bidang
ini pun mengajarkan bahwa dalam islam tidak ada sekutu bagi Allah dan
barangsiapa yang tidak percaya akan ke-Esa-anNya maka ia sungguh telah berbuat
syirik.
Sedangkan
agama Kristen memandang Tuhan sebagai juru selamat umat manusia.Ajaran ketuhanan dalam agama Kristen
sebagaimana yang tercantum dalam kredo Iman Rasuli yaitu, Tritunggal yang
terdiri dari Allah Bapa, Allah putera, dan Roh Kudus. Semuanya
itu adalah adalah pribadi Allah.Allah yang Maha Sempurna, Maha Kudus, Maha Tahu
dan kekal. Ketiga pribadi Allah tersebut disembah dengan cara yang sama karena
dari ketiganya itu hanya ada satu Allah. Secara umum, umat Kristiani bersyukur akan Allah Tritunggal,
yakni Allah Bapa sebagai pencipta alam semesta, Allah Putera sebagai penebus
dosa manusia, dan Roh Kudus menyucikan manusia.
Agama
Hindu mempunyai keprcayaan terhadap para dewa.Dewa bukan hanya dianggap sebagai
“yang dituhankan” tetapi juga bhawa dewa dulunya adalah nenek moyang mereka.Dewa-dewa
yang ada dalam agama Hindu diantaranya Bhatara yang terpenting di
antaranya adalah Bhatara Brahma (dewa api), Bhatara Surya (dewa matahari),
Bhatara Indra (dewa penguasa surga), Bhatara Yama (penguasa maut), dan Bhatari
Durga (dewi maut atau kematian). Bhatara Siwa adalah dewa tertinggi yang
menguasai dan memiliki kekuatan para dewa lainnya.Bahkan, semua dewa adalah
penjelmaanya.Penjelmaan Siwa yang dianggap penting adalah Bhatara Guru, Bhatara
Kala dan Bhatari Durga.
Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Budha
diungkapkan dalam kalimat “Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatam” yang artinya “Suatu Yang Tidak
Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak”. Dalam hal ini,
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat
dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun.
Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asankhata) maka
manusia yang berkondisi (sankhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran
kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup
manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan
sejati dimana batin manusia tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal
lahir. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada
pengaruhnya. Tidak ada dewa – dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha
sendirilah kebuddhaan dapat dicapai.Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu,
dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai
pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya.
Dalam
pandangan agama Islam, manusia dan alam merupakan aspek yang tidak dapat
dipsahkan.Hubungan antara Tuhan,
manusia dan alam sangatlah erat.Tuhan sebagai dzat yang menciptakan
manusia.Manusia dan Alam sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan. Jika
peran Tuhan tidak ada manusia dan alam tidak akan tercipta. Hubungan manusia
dengan Tuhan disebut pengabdian (ibadah). Pengabdian manusia bukan untuk
kepentingan Allah, Allah tidak berhajat (berkepentingan) kepada siapa pun,
pengabdian itu bertujuan untuk mengembalikan manusia kepada asal penciptanya
yaitu fitrah (kesucian)nya. Agar kehidupan manusia diridhoi oleh Allah swt.
Seperti yang dijelaskan al-Qur’an dalam surat az-Zariyat ayat 56 yang artinya:
”Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyambahku.”
Manusia dikaruniai akal (sebagai salah satu
kelebihannya), dia juga sebagai khalifah dimuka bumi, namun demikian
manusia tetap harus terikat dan tunduk pada hukum Allah swt.Alam diciptakan
oleh Allah swt dan diperuntukkan bagi kepentingan manusia. Sebagai khalifah,
manusia diberi wewenang untuk mengelola dan mengolah serta memanfaatkan alan
ini.
Allah swt sebagai Sang Pencipta yang
menciptakan alam beserta isinya, lalu Allah swt menciptakan makhluk yang
bernama manusia sebagai pengurus bumi. Manusia akan dimintai pertanggung
jawabannya langsung kepada Allah swt tentang hasil dari kepengurusannya.
Barang siapa yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt dan menjalankan amanat
dengan sebaik-baiknya maka niscahya dia akan mendapatkan kebahagiaan didunia
dan diakhirat. Sedangkan sebaliknya siapa yang inkar dan tidak memperdulikan
perintah Allah swt akan mendapat murka dan laknat Allah didunia maupun
diakhirat. Dan alam ini akan menjadi saksi dihadapan Allah swt dan tidak akan
ada satu orang manusiapun yang bisa memungkiri perbuatannya selama didunia ini
ketika tiba masanya harii perhitungan karena sesungguhnya Allah swt itu Maha
Mengetahui segala sesuatu.
Sebagaimana dalam agama Islam, agama Kristen
juga memiliki pandangan yang sama tentang manusia dan alam. Alkitab
menggambarkan kesatuan manusia dengan alam dalam cerita tentang penciptaan
manusia: “Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah” (Kej
2:7),
seperti Ia juga “membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung
di udara” (Kej
2:19).
Dalam bahasa Ibrani, manusia disebut adam. Nama itu mempunyai akar yang sama
dengan kata untuk tanah, adamah yang berarti warna merah kecoklatan yang
mengungkapkan warna kulit manusia dan warna tanah. Dalam bahasa Latin manusia
disebut homo, yang juga mempunyai makna yang berkaitan dengan humus, yaitu tanah.
Dalam artian itu, tanah yang biasa diartikan dengan bumi, mempunyai hubungan
lipat tiga yang kait mengkait dengan manusia: manusia diciptakan dari tanah (Kej
2:7; 3:19,23), ia harus hidup dari menggarap tanah (Kej
3:23),
dan ia pasti akan kembali kepada tanah (Kej
3:19;
Maz
90:3).
Di sini nyata bahwa manusia dan alam (lingkungan hidup) hidup saling bergantung
– sesuai dengan hukum ekosistem. Karena itu, kalau manusia merusak alam maka
secara otomatis berarti ia juga merusak dirinya sendiri.
Tentang kepemimpinan
manusia atas alam juga dijelaskan dalam Kejadian 1 ayat 26-28, Hanya manusia yang diciptakan segambar dengan
Allah dan yang diberikan kuasa untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan
seluruh ciptaan yang lain, dan untuk mengelola dan memelihara lingkungan
hidupnya (Kej
2:15).
Jadi manusia mempunyai kuasa yang lebih besar daripada makhluk yang lain. Dalam
Kejadian 2 ayat 15 ini juga dijelaskan kata mengelola dalam digunakan istilah
Ibrani abudah, yang sama maknanya dengan kata ibadah dan mengabdi.
Maka manusia sebagai citra Allah seharusnya memanfaatkan alam sebagai bagian
dari ibadah dan pengabdiannya kepada Allah. Dengan kata lain, penguasaan atas
alam seharusnya dijalankan secara bertanggung jawab: memanfaatkan sambil
menjaga dan memelihara. Ibadah yang sejati adalah melakukan apa saja yang
merupakan kehendak Allah dalam hidup manusia, termasuk hal mengelola (abudah)
dan memelihara (samar) lingkungan hidup yang dipercayakan kekuasaan
atau kepemimpinannya pada manusia.
Dalam agama Hindu, relasi Tuhan, manusia dan alam dijelaskan
dalam konsep kosmologi Tri Hita Karana merupakan falsafah hidup
tangguh.Falsafah tersebut memiliki konsep yang dapat melestarikan keaneka
ragaman budaya dan lingkungan di tengah hantaman globalisasi dan
homogenisasi. Pada dasarnya hakikat ajaran tri hita karana menekankan
tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini.
Hakikat mendasar Tri
Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber
pada keharmonisan hubungan antara Manusia
dengan Tuhan nya, Manusia dengan
alam lingkungannya, dan Manusia
dengan sesamanya.Dengan menerapkan falsafah tersebut diharapkan dapat
menggantikan pandangan hidup modern yang lebih mengedepankan individualisme
dan materialisme. Membudayakan Tri Hita
Karana akan dapat memupus pandangan yang mendorong konsumerisme,
pertikaian
dan gejolak.
Ketiga hubungan itu meliputi hubungan dengan
sesama manusia, hubungan dengan alam sekeliling, dan hubungan dengan ke Tuhanan
yang saling terkait satu sama lain. Setiap hubungan memiliki pedoman hidup
menghargai sesama aspek sekelilingnya.Prinsip pelaksanaannya harus seimbang,
selaras antara satu dan lainnya. Apabila keseimbangan tercapai, manusia akan
hidup dengan mengekang dari pada segala tindakan berekses buruk. Hidupnya akan
seimbang, tenteram, dan damai. Hubungan antara manusia dengan alam lingkungan
perlu terjalin secara harmonis, bilamana keharmonisan tersebut di rusak oleh
tangan-tangan jahil, bukan mustahil alam akan murka dan memusuhinya.
Ajaran
Buddha mengajarkan sebab akibat, bahwa keseluruhan alam semesta merupakan
jaringan sebab dan akibat yang saling berhubungan.Terdapat dua jenis sebab
akibat – sebab akibat alamiah dan sebab akibat moral. Sebab akibat alamiah
tidak ada hubungannya dengan orang-orang menjadi baik atau jahat, ia hanyalah
persoalan dari berbagai kekuatan di alam semesta yang bekerja satu sama lain.
Hujan badai atau matangnya hasil panen merupakan contoh sebab akibat
alamiah.Sebab alamiah tentunya dapat mempengaruhi kita – terperangkap dalam
sebuah hujan badai dapat menyebabkan kita demam.Namun penderitaan akibat demam
tidak ada hubungannya dengan perbuatan masa lampau yang baik atau buruk – ini
adalah akibat alamiah dari sebab alamiah.Sebab akibat moral adalah tentang
bagaimana seseorang berpikir, berkata dan bertindak serta bagaimana mereka
merasakan akibatnya.Menjadi penolong bagi seseorang, mendapatkan terima kasih
dari mereka dan merasakan kebahagiaan karena hal itu; mencuri sesuatu,
tertangkap dan kemudian merasakan rasa malu, adalah contoh-contoh sebab akibat
moral.Kebahagiaan atau ketidakbahagiaan seseorang adalah
akibat langsung dari bagaimana mereka berbuat.Seseorang tidak dianugerahi atau
dihukum atas perbuatan mereka, kebahagiaan atau ketidakbahagiaan hanyalah hasil
dari perbuatan mereka. Sekarang mari kita membahas tentang tsunami dalam
kaitannya dengan ajaran hukum kamma (karma).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan dan Saran
Globalisasi disamping membawa
manusia kepada keadaan tanpa sekat juga membawa manusia kepada satu masalah
yang sama. Salah satu permasalahan bersama yang dialami dunia saat ini adalah
permasalahan lingkungan. Disaat awal-awal globalisasi manusia begitu mengagumi
kehidupan instan dengan teknologi canggih, maka sekarang manusia kembali
meneliti kehidupan masa lalu karena ternyata kemajuan teknologi membawa
pengaruh negative yang serius, yaitu kemungkinan akan hilangnya lingkungan yang
sehat di masa depan.
Masyarakat Indonesia yang
merupakan masyarakat majemuk dan memiliki adat yang masih dipelihara menjadi
salah satu rujukan dalam penataan lingkungan yang bersahabat dengan alam.Diantaranya
masyarakat Gunung Halimun yang masih menjaga konsep “Leuweung Kolot” dan
“Leuweung Sampalan”.
Masyarakat Kampung Naga
memilikiPola hidup
sederhana dalam hidup mereka tercermin dalam ungkapan: teu saba, teu boga,
teu banda teu boga, teu weduk teu bedas, teu gagah teu pinter, dan
amanat ti kolot sacekap-cekapna sakieu wae (tidak bepergian, tidak punya,
tidak memiliki harta kekayaan, tidak kebal tidak kuat, tidak gagah tidak
pandai, dan sekian amanat dari leluhur). Ungkapan tersebut memiliki nilai filosofis
sebagai landasan berperilaku. Hidup sederhana tidak menjadikan mereka
hidup miskin, melainkan menunjukkan kemandirian dengan mengelola sumber daya
alam sesuai kebutuhan dan budaya (culturally defined resources) yang
tersedia di lingkungannya (man ecological dominant).
Masyarakat Kampung Kuta memiliki
cara sendiri dalam menghargai alam berupa upacara-upacara adat yang masih
mereka lakukan hingga sekarang. Seperti upacara “Nyuguh” yang dilakukan setiap
bulan Mulud dan bertujuan sebagai ungkapan terimakasih atas hasil alam yang
telah diberikan.
Tuhan, Manusia dan Alam merupakan ketiga aspek yang
sama sekali tidak dapat dipisahkan hubungannya. Dimana jika kita ingin mengenal
Tuhan, kita harus mengenal manusia dan alam itu sendiri, begitu pula sebaliknya.Oleh
karena itu, maka seharusnya ketiga aspek ini dikaji dan digunakan sebagai
solusi alternative dalam penyelesaian masalah lingkungn di Indonesia khususnya,
dan di dunia umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adimiharja,
Kusnaka. (1992). Kasepuhan Yang Tumbuh Di
Atas Yang Luruh. Bandung: Penerbit Tarsito
Sumardjo,jakob. (2011).Sunda Pola Rasionalitas Budaya.Bandung:________
http://asroalbuquere.blogspot.com/2012/01/kearifan-lokal-dalam-pelestarian.html
http://www.kasundaan.org/id/index.php?option=com_content&view=article&id=7:stick-to-the-code&catid=1:berita&Itemid=85
http://prasgal.wordpress.com/2013/01/30/kearifan-lokal-masyarakat-baduy-terhadap-sumber-air/