Hai,
saya Lisa Inawati, secara etimologi nama saya berasal dari kata lisa= hari
selasa yang diucapkan oleh orang-orang yang kebetulan kesulitan mengucapkan
huruf “r”, ina yang berasal dari nama panggilan ibu saya “nina” dan wati karena
saya seorang perempuan. Tak pernah terbayangkan sebelumnya andai saya
dilahirkan menjadi seorang laki-laki, apakah nama saya akan menjadi Lisa
Inawan? Entah….
Nama saya memang sederhana,
sesederhana harapan kedua orang tua saya saat pertama kali melihat saya hadir
ke dunia ini, menjadi orang yang berguna bagi apapun dan siapapun, bagi agama,
orang tua, keluarga, syukur-syukur bagi bangsa dan negara hahaha.
Saya dilahirkan di kota yang paling
saya cintai, kota lautan api, parijs van java, kota kembang, atau apapun panggilan
apapun yang mereka sematkan pada kota ini, ya Bandung. 22 tahun berlindung di
bawah langit dan menghirup nafas di kota ini pun rasanya tak pernah mengurangi
kecintaan saya pada kota ini, tempat hidup terbaik untuk saya, terimakasih
tuhan J
Saat ini saya telah menghabiskan
enam semester paling berkesan di jurusan pendidikan ips, universitas pendidikan
Indonesia, Bandung. Ada di jurusan ini pun benar-benar rencana Tuhan yang tidak
pernah terbayangkan selama ini. Saya yang saat itu masih berseragam putih-biru,
hingga putih abu selalu berangan-angan akan menjadi bagian dari keluarga besar
jaster biru dongker (baca: unpad) entah itu di jurusan psikologi ataupun ilmu
sejarah sesuai dengan cita-cita saya sedari duduk di bangku sekolah dasar untuk
menjadi seorang sejarawan. Sebuah cita-cita yang langka bagi anak seusia saya
saat itu bukan? Hahaha.
Tapi itulah takdir bukan? Bahkan
rencana dan usaha terhebat kita pun terkadang nampak tak berdaya lagi saat
menghadapi skenario Nya, saat tiga kali mengalami kepahitan karena sekali gagal
tembus teknologi pangan IPB dan dua kali gagal tembus Pendidikan Biologi UPI,
saya pun menyadari bahwa mungkin memang takdir saya menjadi seorang pendidik
ilmu sosial, ilmu yang sangat saya hindari selain pendidikan agama dan juga pendidikan
kewarganegaraan, mengapa? Karena sebagai seorang manusia saya merasa masih
sangat jauh dari apa yang telah ada dalam norma-norma, baik tertulis maupun
tidak tertulis. Bagaimana mungkin saya mampu mendidik orang lain untuk
berperilaku sesuai tuntunan norma jika ternyata saya pun masih belum mampu
untuk itu.
Tapi lagi-lagi rahasia Tuhan itu
memang luar biasa, sedikit membuat terkejut memang saat tidak sengaja membuka
diary zaman sekolah dasar dan menemukan kejutan bahwa di kelas 3 SD saya sudah
menuliskan cita-cita sebagai guru IPS, entah suatu kebetulan ataukah lagi-lagi
memang rencana Tuhan yang telah disiapkan untuk saya.
Di akhir umur 22 tahun ini pun,
telah begitu banyak (bahkan mungkin terlalu banyak) yang telah saya rasakan dan
juga saya alami, yang walau begitu entah mengapa tak kunjung membuat saya lebih
dewasa dari yang seharusnya menjadi tuntutan umur saya. Masih tetap menjadi
manusia yang terkadang menunjukan kekanakan yang tak semestinya, sikap-sikap
yang seharusnya tak terlampau lagi sering muncul. Itu terkadang sangat menjadi
beban, terutama terkadang saat saya merasa bahwa ekspektasi yang orang-orang
bebankan kepada saya itu jauh melampaui apa yang saya rasa mampu saya pikul.
Masih menjadi anak, kakak dan saudara yang sering menyimpan iri hati saat
merasa hidup orang lain jauh lebih sempurna, tanpa pernah menyadari mungkin
saja diluar sana ada yang mati-matian berharap untuk bisa jadi seperti saya
(geeeeer =]] ). Ah rasanya 22, 23 atau hingga 45 pun perasaan itu akan selalu
ada. Intinya tetap terimakasih Tuhan, atas segala takdir yang manis hingga yang
pahit namun tetap manis bagiMu Tuhan, terimakasih telah memberikan 22 tahun
terbaik bagi saya, bagi orang-orang di sekeliling saya, bagi orang-orang yang
juga bersyukur padaMu telah menghadirkan saya dalam hidupnya.
23 tahun, selamat datang…….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar