Minggu, 27 Mei 2012

kearifan lokal yang mendukung pembangunan di Kampung Naga



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
            Kampung Naga, sebuah lokasi  yang secara administratif terletak di desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Kampung Naga ini terletak sekitar ± 30 Km dari Kota Tasikmalaya atau ±26 Km dari Kota Garut. Kampung Naga adalah sebuah kampung adat lain yang ada di lingkup kebudayaan sunda selain Kampung Baduy. Kampung Naga ini berasal dari kata dalam bahasa sunda yaitu na gawir  yang dalam bahasa indonesia dapat diartikan sebagai di pinggir gunung, karena memang kampung ini terletak di lembah sebuah gunung, dimana di dalamnya dialiri sebuah sungai yaitu sungai ciwulan, dan kedua sisinya dibatasi oleh dua buah hutan, hutan yang berada di sebelah barat berupa hutan keramat karena, di dalamnya berada makam keramat leluhur mereka yang tidak dapat dimasuki oleh semua orang, kecuali kuncen. Sedangkan di sebelah timur, adalah leuweung larangan yang semenjak zaman dahulu hingga sekarang tidak pernah boleh dimasuki oleh siapapun.
            Zaman sekarang ini semakin berkembangnya teknologi membuat Kampung Naga pun tidak dapat menolak dan menutup diri dari perkembangan zaman. Walaupun masyarakat Kampung Naga tetap terikat oleh aturan adat yang kuat, namun mereka juga tidak dapat sepenuhnya menghindar dari pengaruh modernisasi. Seperti penggunaan alat-alat elektronik seperti handphone dan juga televisi, walaupun penggunaan listrik disana tetap dilarang.
            Namun, walaupun perkembangan teknologi telah menyentuh berbagai aspek kehidupan Kampung Naga, tetapi tetap ada kearifan-kearifan lokal yang tetap terjaga dan tetap dipertahankan. Karena tanpa kita sadari, ada beberapa kearifan lokal yang mereka miliki yang mempengaruhi kemajuan pembangunan di Kampung Naga itu sendiri. Kearifan lokal yang mendukung pembangunan inilah yang kemudian kita kaji dalam makalah yang kami buat hari ini.

1.2  RUMUSAN MASALAH
            Setiap pembuatan makalah tentu memiliki permasalahan yang akan dibahas. Permasalahan yang kami angkat diantaranya:
A.    Apa sajakah Tujuh Unsur Kebudayaan yang terdapat di Kampung Naga
B.     Apakah yang dimaksud dengan kearifan lokal
C.     Apa sajakah kearifan lokal yang terdapat di Kampung Naga?
D.    Manakah diantara kearifan lokal tersebut yang mendukung pembangunan di Kampung Naga?
E.     Apa sajakah upaya untuk melestarikan kearifan lokal yang ada di Kampung Naga

1.3  TUJUAN MAKALAH
Adapun tujuan kami dalam penulisan makalah ini antara lain:
A.    Untuk mengetahui Tujuh Unsur Kebudayaan yang terdapat di Kampung Naga.
B.     Untuk memahami apa itu kearifan lokal.
C.     Untuk mengetahui apa saja kearifan lokal yang terdapat di Kampung Naga.
D.    Untuk mengetahui apa saja kearifan lokal di Kampung Naga yang dapat mendukung pembangunan.
E.     Untuk mengetahui apa sajakah upaya yang dilakukan dalam melestarikan kearifan lokal di Kampung Naga.

1.4  SISTEMATIKA PENULISAN MAKALAH
            Bab 1 pendahuluan, bab ini berisi latar belakang penulisan makalah, rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, juga berisi mengenai sistematika penulisan makalah.
            Bab II berisi tentang pembahasan isi dari makalah ini, yang meliputi tentang Tujuh Unsur Kebudayaan yang terdapat di Kampung Naga, pengertian kearifan lokal, macam-macam kearifan lokal yang terdapat di Kampung Naga, kearifan lokal apakah yang mendukung pembangunan di Kampung Naga, dan yang terakhir adalah upaya pelestarian kearifan lokal yang terdapat di Kampung Naga.
Bab III merupakan penutup, berisi kesimpulan dari makalah yang kami buat dan juga saran yang kelompok kami berikan terhadap rumusan masalah yang telah dituliskan pada awal makalah.






























BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tujuh Unsur Kebudayaan yang Terdapat di Kampung Naga
            Unsur kebudayaan yang pertama adalah peralatan dan perlengkapan hidup. Ada beberapa peralatan dan perlengkapan hidup yang khas dari Kampung Naga, diantaranya adalah bangunan-bangunan yang ada di Kampung Naga sangat khas, baik dari segi arsitektur maupun bahan bangunan. Banguna di Kampung Naga seluruhnya berbentuk rumah panggung yang mengahadap ke arah utara atau selatan. Bahan bangunan di Kampung Naga seluruhnya menggunakan kayu dan juga bambu sebagai bahan bangunan rumah, lalu untuk atap mereka menggunakan alang-alang dan juga ijuk yang setiap setahun sekali diganti. Peralatan dan perlengkapan hidup lainya diantaranya adalah lesung untuk menumbuk padi, dan juga kompor yang masih tradisonil  yang berbahan bakar arang atau batok kelapa yang disebut dengan hawu.
            Unsur kebudayaan yang kedua adalah mata pencaharian dan sistem ekonomi. Mata pencaharian masyarakat Kampung Naga mayoritas adalah petani. Hal ini secara kasat mata pun dapat kita ketahui dengan banyaknya areal sawah  yang menanam padi yang terbentang di sekitar Kampung Naga. Namun, selain bertani, ada juga masyarakat Kampung Naga yang memiliki mata pencaharian beternak unggas (ayam dan itik, tapi biasanya berupa mata pencaharian sampingan).
            Sistem kemasyarakatan adalah unsur kebudayaan ketiga yang akan dibahas. Sistem kemasyarakatan Kampung Naga dibagi menjadi dua yaitu formal dan non formal. Formal yaitu masyarakat Kampung Naga hidup dalam sistem kemasyarakatan yang sama seperti masyarakat lainya di indonesia, yaitu terdiri atas RT, RW, dan Kelurahan. Sedangkan yang non formal adalah adanya Kuncen, Lebe, dan juga Sesepuh Adat.
            Unsur kebudayaan yang keempat adalah bahasa. Bahasa yang umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kampung Naga, tetapi selain itu tentunya bahasa lain yang mereka pahami adalah Bahasa Indonesia, walaupun dalam penggunaan di kehidupan sehari-hari mayoritas adalah bahasa Sunda.
            Unsur kebudayaan yang selanjutnya adalah jenis kesenian. Kesenian-kesenian yang berkembang di dalam masyarakat Kampung Naga diantaranya adalah Terbangan, Beluk, Angklung, dan Rengkong. Terbangan adalah semacam kesenian yang menggunakan rebana dan menyanyikan pujian-pujian terhadap Allah SWT dan juga Nabi Muhammad SAW. Rengkong adalah kesenian asli Jawa Barat yang pada awalnya lahir pada saat para petani pulang memanen padi dari sawah, menggunakan pikulan yang terbuat dari padi. Lalu gesekan dari tali ijuk dan pikulan bambu tersebut menghasilkan suara seperti rengkong (angsa). Itulah yang menjadi awal mula kesenian rengkong
            Sistem pengetahuan adalah unsur kebudayaan berikutnya yang akan dibahas, menurut kami salah satu sistem pengetahuan yang dapat kami ambil dari masyarakat Kampung Naga adalah sistem pembuatan bangunan. Namun, hal ini telah kami bahas pada poin pertama yaitu mengenai peralatan dan perlengkapan hidup.
            Unsur kebudayaan yang terakhir adalah sistem religi dan kepercayaan. Mayoritas masyarakat Kampung Naga beragama islam. Tetapi, seperti pada umumnya masyarakat di pedesaan (khususnya desa adat) dimana kepercayaan terhadap roh halus dan roh nenek moyang masih sangat tinggi, begitu pun dengan masyarakat Kampung Naga.
2.2 Kearifan Lokal
            Pengertian Kearifan Lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri dari 2 kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius.


2.3 Kearifan Lokal yang Terdapat di Kampung Naga
            Beberapa jenis kearifan lokal yang terdapat di Kampung Naga diantaranya adalah penggunaan rumah-rumah adat di Kampung Naga, rumah adat disana umumnya berupa rumah panggung, yang terbuat dari kayu, dengan atap terbuat dari ijuk dan alang-alang. Dengan arah rumah mengahadap ke arah utara atau selatan dan saling berhadap-hadapan. Filosofi yang dapat kita ambil dari rumah tradisionil orang-orang di Kampung Naga diantaranya adalah, rumah dengan model panggung yang terbuat dari kayu ini terbukti tahan gempa. Pada saat Tasikmalaya diguncang gempa hebat di tahun 2009, rumah-rumah di Kampung seluas 1,5 Hektar ini tidak mengalami kerusakan sedikit pun. Filosofi lain yang dapat kita ambil, diantaranya dengan arah rumah yang saling berhadap-hadapan, kita dapat mengetahui kondisi apapun yang terjadi pada tetangga kita, misalnya ketika tetangga kita dalam kondisi tidak memiliki  beras atau makanan.
            Kearifan lokal yang kedua adalah adanya leuweung larangan atau hutan terlarang yang berada di seberang sungai Ciwulan, menurut Bapak Yudi yang menjadi Tour Guide kita pada saat itu, hutan terlarang memang benar-benar terlarang bagi siapapun, karena sejak zaman dahulu, tidak ada siapapun yang diizinkan masuk ke hutan tersebut. Secara logis, kita dapat memahami alasan mengapa hutan tersebut menjadi hutan terlarang, karena jika hutan tersebut telah terjamah tangan-tangan manusia, dengan keserakahan manusia, manusia tidak akan berhenti untuk mengeksploitasi hutan, mengambil segala sesuatu yang ada di hutan untuk kepentingan diri sendiri. Sementara dapat kita lihat sendiri, kontur hutan larangan itu berbentuk bukit yang kemiringanya lumayan terjal. Sehingga apabila hutan tersebut dieksploitasi oleh manusia dapat menyebabkan berbagai macam bencana seperti tanah longsor, banjir, dll.
            Kearifan lokal yang ketiga adalah masyarakat Kampung Naga tidak mneggunakan listrik, bukanya PLN tidak mampu menghadirkan jaringan listrik di Kampung Naga, tetapi masyarakat Kampung Naga sendiri yang memang tidak menginginkan listrik ada di desa mereka. Dapat kita tarik kesimpulan dari hal ini, karena pada umumnya bangunan-bangunan yang terbuat di Kampung Naga terbuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar, seperti kayu, bambu, ijuk, dan alang-alang. Selain itu kehadiran listrik di desa mereka pasti akan membuat mereka memunculkan sikap-sikap individualis dan konsumerisme, karena dengan hadirnya listrik, pasti akan membuat mereka melengkapi rumah-rumah dengan berbagai macam peralatan elektronik, seperti televisi, radio, mesin cuci, kulkas, dll. Jika di rumah mereka telah dilengkapi dengan berbagai macam barang elektronik, akan membuat mereka malas untuk berinteraksi dengan tetangga di sekitarnya.
            Kearifan lokal selanjutnya adalah pada saat dalam perjalanan menuruni tangga-tangga menuju Kampung Naga, tour guide kami berulang kali mengingatkan agar kami tidak berkata sembarangan, tidak memotong ranting-ranting pohon dan juga tidak mengganggu hewan-hewan yang berada di sekitar situ.

2.4 Kearifan Lokal yang Mendukung Pembangunan di Kampung Naga
            Dari beberapa kerifan lokal yang kami temukan dan telah kami jabarkan diatas, ada beberapa kearifan lokal yang menurut kami memiliki beberapa pengaruh yang mampu mendorong pembangunan di Kampung Naga, diantaranya adalah hasil pemikiran masyarakat Kampung Naga mengenai sistem dan tata letak bangunan. Seperti yang telah kami jelaskan di awal bahwa bangunan-bangunan di Kampung Naga terbuat dari bahan seperti kayu untuk pondasi bangunan, dan juga bambu pada beberapa bagianya. Sedangkan untuk atap menggunakan alang-alang kering kemudian ijuk sebagai bagian paling atasnya. Walaupun terkesan konservatif, namun sistem pembuatan bangunan seperti ini sekarang telah banyak ditiru di tempat-tempat lain di luar Kampung Naga, bukan hanya di sekitar sekitar jawa barat tapi di banyak daerah di indonesia. Karena telah terbukti bahwa bentuk bangunan seperti  ini memang jauh lebih tahan gempa dibandingkan dengan bangunan-bangunan tembok seperti sekarang ini

2.5  Upaya Melestarikan Kearifan Lokal di Kampung Naga
            Berdasarkan hasil pengamatan kelompok kami, setidaknya ada beberapa upaya dalam melestarikan kearifan lokal yang ada di Kampung Naga. Diantaranya yang pertama adalah memberikan pemahaman bahwa segala sesuatu yang dilarang oleh aturan adat memiliki dampak positif bagi masyarakat Kampung Naga itu sendiri. Selain itu juga memberikan batas yang jelas mengenai segala bentuk modernisasi apa yang diperbolehkan masuk dan tidak diperbolehkan untuk masuk ke Kampung Naga.























BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Seperti telah kami jelaskan di awal, bahwa kearifan lokal, yang dalam bahasa inggris disebut dengan Local Wisdom memiliki  pengertian kira-kira yaitu kebijaksanaan seseorang atau sekelompok orang dalam menerima hal-hal baru biasanya berupa nilai-nilai, gagasan, ataupun kebudayaan yang datang dari luar.
            Kampung Naga sendiri adalah sebuah kampung adat yang secara administratif masuk ke daerah Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di daerah ini, dimana aturan adat masih dijaga dengan ketat. Ada beberapa kearifan lokal khas Kampung Naga yang tidak dapat kita temukan di daerah lain. Misalnya saja Kampung Naga yang mampu hidup tanpa listrik dan perabotan rumah tangga yang bersifat elektronik. Kearifan lokal mereka dalam menjaga lingkungan, diantaranya berupa adanya hutan larangan. Selanjutnya ada pula kearifan lokal lainya, yaitu membangun rumah dengan bahan-bahan tradisionil yang keseluruhanya berada di alam. Mungkin sedikit unik dan juga terlihat kuno, namun dibalik hal yang kita nilai kuno itu ternyata teknologi  pembuatan rumah di Kampung Naga telah lebih berhasil dalam menahan gelombang getaran gempa dibandingkan dengan rumah-rumah berbahan modern yang telah umum kita temui dalam kehidupan masyarakat di tempat lain.
            Tidak dapat kita pungkiri kearifan-kearifan lokal yang berada di Kampung Naga, ada beberapa yang mungkin tidak disadari mendukung pembangunan yang ada di Kampung Naga. Diantaranya adalah dalam sistem pengetahuan mengenai pembangunan rumah. Seperti yang telah kami jelaskan di atas. Seluruh bangunan yang ada di Kampung Naga berbentuk rumah panggung, dengan bangunan seluruhnya terbuat dari kayu dan juga bambu sebagai bahan bangunan rumah. Sedangkan untuk atap, para warga di Kampung Naga menggunakan bahan alang-alang yang diatasnya dilapisi ijuk. Sekilas mungkin kita akan berpikir bahwa betapa kunonya model bangunan seperti ini. Tetapi siapa sangka bahwa dibalik kekunoan model bangunan ini, justru sangat tahan gempa. Buktinya pada saat kota Tasikmalaya dan sekitarnya diguncang gempa pada tahun 2009, tidak ada kerusakan yang berarti pada bangunan-bangunan yang ada di Kampung Naga, kontras sekali dengan apa yang terjadi pada tempat tempat lain di wilayah Tasikmalaya.
            Yang terakhir adalah upaya yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga untuk menjaga dan memelihara kearifan lokal yang ada di wilayah mereka. Upaya yang pertama adalah dengan senantiasa mengajarkan kepada keturunan-keturunan mereka sedari dini tentanng kearifan lokal yang ada di Kampung Naga, karena bila pemahaman generasi muda Kampung Naga tentang kearifan lokal mereka mulai tergerus, bukan tidak mungkin di kemudian hari mereka akan meninggalkan kearifan lokal yang telah turun menurun menjadi identitas masyarakat Kampung Naga.

3.2 Saran
            Saran yang dapat kami berikan untuk menjawab rumusan masalah yang telah kami buat diatas diantaranya adalah pendidikan bagi generasi muda Kampung Naga, karena berdasarkan data yang kami temukan di lapangan, bahwa kebanyakan orang-orang di Kampung Naga hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat sekolah dasar.
            Selain itu juga mesti adanya pemberian pemahaman terhadap generasi muda Kampung Naga mengenai pentingnya menjaga kearifan lokal sebagai warisan dari para leluhur mereka. Sebab bila pemahaman generasi muda Kampung Naga akan pentingnya kearifan lokal mulai hilang, bukan tidak mungkin beberapa puluh tahun ke depan, Kampung Naga hanya akan menjadi desa-desa biasa seperti yang lainya.
            Lalu perlu juga adanya ketegasan tentang batas-batas modernisasi seperti apakah yang boleh masuk ke Kampung Naga, karena tanpa kita sadari, pengaruh modernisasi telah terus menerus masuk ke kampun naga, dan bila dibiarkan terus bukan tidak mungkin di kemudian hari kebudayaan asli Kampung Naga ini akan hilang tergerus arus modernisasi.
DAFTAR PUSTAKA

_______.  2012. Kampung Naga. http://id.wikipedia.org/wiki/Kampung_Naga.  24 Mei 2012 [online].
Halimah, Uun. 2008. Rengkong (Kesenian Tradisional Masyarakat Jawa Barat). http://uun-halimah.blogspot.com/2008/06/rengkong-kesenian-tradisional.html. 24 Mei 2012 [online].



Tidak ada komentar:

Posting Komentar