BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kampung
Naga, sebuah lokasi yang secara
administratif terletak di desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten
Tasikmalaya. Kampung Naga ini terletak sekitar ± 30 Km dari Kota Tasikmalaya
atau ±26 Km dari Kota Garut. Kampung Naga adalah sebuah kampung adat lain yang
ada di lingkup kebudayaan sunda selain Kampung Baduy. Kampung Naga ini berasal
dari kata dalam bahasa sunda yaitu na
gawir yang dalam bahasa indonesia
dapat diartikan sebagai di pinggir gunung, karena memang kampung ini terletak
di lembah sebuah gunung, dimana di dalamnya dialiri sebuah sungai yaitu sungai
ciwulan, dan kedua sisinya dibatasi oleh dua buah hutan, hutan yang berada di
sebelah barat berupa hutan keramat karena, di dalamnya berada makam keramat
leluhur mereka yang tidak dapat dimasuki oleh semua orang, kecuali kuncen.
Sedangkan di sebelah timur, adalah leuweung
larangan yang semenjak zaman dahulu hingga sekarang tidak pernah boleh
dimasuki oleh siapapun.
Zaman
sekarang ini semakin berkembangnya teknologi membuat Kampung Naga pun tidak
dapat menolak dan menutup diri dari perkembangan zaman. Walaupun masyarakat Kampung
Naga tetap terikat oleh aturan adat yang kuat, namun mereka juga tidak dapat
sepenuhnya menghindar dari pengaruh modernisasi. Seperti penggunaan alat-alat
elektronik seperti handphone dan juga televisi, walaupun penggunaan listrik
disana tetap dilarang.
Namun,
walaupun perkembangan teknologi telah menyentuh berbagai aspek kehidupan Kampung
Naga, tetapi tetap ada kearifan-kearifan lokal yang tetap terjaga dan tetap
dipertahankan. Karena tanpa kita sadari, ada beberapa kearifan lokal yang
mereka miliki yang mempengaruhi kemajuan pembangunan di Kampung Naga itu
sendiri. Kearifan lokal yang mendukung pembangunan inilah yang kemudian kita
kaji dalam makalah yang kami buat hari ini.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Setiap pembuatan
makalah tentu memiliki permasalahan yang akan dibahas. Permasalahan yang kami
angkat diantaranya:
A.
Apa
sajakah Tujuh Unsur Kebudayaan yang terdapat di Kampung Naga
B.
Apakah
yang dimaksud dengan kearifan lokal
C.
Apa
sajakah kearifan lokal yang terdapat di Kampung Naga?
D.
Manakah
diantara kearifan lokal tersebut yang mendukung pembangunan di Kampung Naga?
E.
Apa
sajakah upaya untuk melestarikan kearifan lokal yang ada di Kampung Naga
1.3 TUJUAN
MAKALAH
Adapun tujuan kami dalam penulisan makalah ini
antara lain:
A.
Untuk
mengetahui Tujuh Unsur Kebudayaan yang terdapat di Kampung Naga.
B.
Untuk
memahami apa itu kearifan lokal.
C.
Untuk
mengetahui apa saja kearifan lokal yang terdapat di Kampung Naga.
D.
Untuk
mengetahui apa saja kearifan lokal di Kampung Naga yang dapat mendukung
pembangunan.
E.
Untuk
mengetahui apa sajakah upaya yang dilakukan dalam melestarikan kearifan lokal
di Kampung Naga.
1.4
SISTEMATIKA PENULISAN MAKALAH
Bab 1 pendahuluan, bab ini berisi latar
belakang penulisan makalah, rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, juga
berisi mengenai sistematika penulisan makalah.
Bab
II berisi tentang pembahasan isi dari makalah ini, yang meliputi tentang Tujuh Unsur Kebudayaan
yang terdapat di Kampung Naga, pengertian kearifan lokal, macam-macam kearifan
lokal yang terdapat di Kampung Naga, kearifan lokal apakah yang mendukung
pembangunan di Kampung Naga, dan yang terakhir adalah upaya pelestarian
kearifan lokal yang terdapat di Kampung Naga.
Bab III merupakan
penutup, berisi kesimpulan dari makalah yang kami buat dan juga saran yang
kelompok kami berikan terhadap rumusan masalah yang telah dituliskan pada awal
makalah.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Tujuh Unsur Kebudayaan yang Terdapat di Kampung Naga
Unsur kebudayaan
yang pertama adalah peralatan dan perlengkapan hidup. Ada beberapa peralatan
dan perlengkapan hidup yang khas dari Kampung Naga, diantaranya adalah
bangunan-bangunan yang ada di Kampung Naga sangat khas, baik dari segi
arsitektur maupun bahan bangunan. Banguna di Kampung Naga seluruhnya berbentuk
rumah panggung yang mengahadap ke arah utara atau selatan. Bahan bangunan di Kampung
Naga seluruhnya menggunakan kayu dan juga bambu sebagai bahan bangunan rumah,
lalu untuk atap mereka menggunakan alang-alang dan juga ijuk yang setiap
setahun sekali diganti. Peralatan dan perlengkapan hidup lainya diantaranya
adalah lesung untuk menumbuk padi,
dan juga kompor yang masih tradisonil
yang berbahan bakar arang atau batok kelapa yang disebut dengan hawu.
Unsur
kebudayaan yang kedua adalah mata pencaharian dan sistem ekonomi. Mata
pencaharian masyarakat Kampung Naga mayoritas adalah petani. Hal ini secara
kasat mata pun dapat kita ketahui dengan banyaknya areal sawah yang menanam padi yang terbentang di sekitar Kampung
Naga. Namun, selain bertani, ada juga masyarakat Kampung Naga yang memiliki
mata pencaharian beternak unggas (ayam dan itik, tapi biasanya berupa mata
pencaharian sampingan).
Sistem
kemasyarakatan adalah unsur kebudayaan ketiga yang akan dibahas. Sistem
kemasyarakatan Kampung Naga dibagi menjadi dua yaitu formal dan non formal.
Formal yaitu masyarakat Kampung Naga hidup dalam sistem kemasyarakatan yang
sama seperti masyarakat lainya di indonesia, yaitu terdiri atas RT, RW, dan
Kelurahan. Sedangkan yang non formal adalah adanya Kuncen, Lebe, dan juga
Sesepuh Adat.
Unsur
kebudayaan yang keempat adalah bahasa. Bahasa yang umum digunakan dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Kampung Naga, tetapi selain itu tentunya
bahasa lain yang mereka pahami adalah Bahasa Indonesia, walaupun dalam
penggunaan di kehidupan sehari-hari mayoritas adalah bahasa Sunda.
Unsur
kebudayaan yang selanjutnya adalah jenis kesenian. Kesenian-kesenian yang
berkembang di dalam masyarakat Kampung Naga diantaranya adalah Terbangan,
Beluk, Angklung, dan Rengkong. Terbangan adalah semacam kesenian yang
menggunakan rebana dan menyanyikan pujian-pujian terhadap Allah SWT dan juga
Nabi Muhammad SAW. Rengkong adalah kesenian asli Jawa Barat yang pada awalnya
lahir pada saat para petani pulang memanen padi dari sawah, menggunakan pikulan
yang terbuat dari padi. Lalu gesekan dari tali ijuk dan pikulan bambu tersebut
menghasilkan suara seperti rengkong (angsa). Itulah yang menjadi awal mula
kesenian rengkong
Sistem
pengetahuan adalah unsur kebudayaan berikutnya yang akan dibahas, menurut kami
salah satu sistem pengetahuan yang dapat kami ambil dari masyarakat Kampung
Naga adalah sistem pembuatan bangunan. Namun, hal ini telah kami bahas pada
poin pertama yaitu mengenai peralatan dan perlengkapan hidup.
Unsur
kebudayaan yang terakhir adalah sistem religi dan kepercayaan. Mayoritas
masyarakat Kampung Naga beragama islam. Tetapi, seperti pada umumnya masyarakat
di pedesaan (khususnya desa adat) dimana kepercayaan terhadap roh halus dan roh
nenek moyang masih sangat tinggi, begitu pun dengan masyarakat Kampung Naga.
2.2
Kearifan Lokal
Pengertian
Kearifan Lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri dari 2 kata yaitu
kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama
dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapat dipahami sebagai
gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakatnya. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local
genius.
2.3
Kearifan Lokal yang Terdapat di Kampung Naga
Beberapa jenis
kearifan lokal yang terdapat di Kampung Naga diantaranya adalah penggunaan
rumah-rumah adat di Kampung Naga, rumah adat disana umumnya berupa rumah
panggung, yang terbuat dari kayu, dengan atap terbuat dari ijuk dan
alang-alang. Dengan arah rumah mengahadap ke arah utara atau selatan dan saling
berhadap-hadapan. Filosofi yang dapat kita ambil dari rumah tradisionil
orang-orang di Kampung Naga diantaranya adalah, rumah dengan model panggung
yang terbuat dari kayu ini terbukti tahan gempa. Pada saat Tasikmalaya
diguncang gempa hebat di tahun 2009, rumah-rumah di Kampung seluas 1,5 Hektar
ini tidak mengalami kerusakan sedikit pun. Filosofi lain yang dapat kita ambil,
diantaranya dengan arah rumah yang saling berhadap-hadapan, kita dapat
mengetahui kondisi apapun yang terjadi pada tetangga kita, misalnya ketika
tetangga kita dalam kondisi tidak memiliki
beras atau makanan.
Kearifan
lokal yang kedua adalah adanya leuweung
larangan atau hutan terlarang yang berada di seberang sungai Ciwulan,
menurut Bapak Yudi yang menjadi Tour Guide kita pada saat itu, hutan terlarang
memang benar-benar terlarang bagi siapapun, karena sejak zaman dahulu, tidak
ada siapapun yang diizinkan masuk ke hutan tersebut. Secara logis, kita dapat
memahami alasan mengapa hutan tersebut menjadi hutan terlarang, karena jika
hutan tersebut telah terjamah tangan-tangan manusia, dengan keserakahan manusia,
manusia tidak akan berhenti untuk mengeksploitasi hutan, mengambil segala
sesuatu yang ada di hutan untuk kepentingan diri sendiri. Sementara dapat kita
lihat sendiri, kontur hutan larangan itu berbentuk bukit yang kemiringanya
lumayan terjal. Sehingga apabila hutan tersebut dieksploitasi oleh manusia
dapat menyebabkan berbagai macam bencana seperti tanah longsor, banjir, dll.
Kearifan
lokal yang ketiga adalah masyarakat Kampung Naga tidak mneggunakan listrik,
bukanya PLN tidak mampu menghadirkan jaringan listrik di Kampung Naga, tetapi
masyarakat Kampung Naga sendiri yang memang tidak menginginkan listrik ada di
desa mereka. Dapat kita tarik kesimpulan dari hal ini, karena pada umumnya
bangunan-bangunan yang terbuat di Kampung Naga terbuat dari bahan-bahan yang
mudah terbakar, seperti kayu, bambu, ijuk, dan alang-alang. Selain itu
kehadiran listrik di desa mereka pasti akan membuat mereka memunculkan
sikap-sikap individualis dan konsumerisme, karena dengan hadirnya listrik,
pasti akan membuat mereka melengkapi rumah-rumah dengan berbagai macam
peralatan elektronik, seperti televisi, radio, mesin cuci, kulkas, dll. Jika di
rumah mereka telah dilengkapi dengan berbagai macam barang elektronik, akan
membuat mereka malas untuk berinteraksi dengan tetangga di sekitarnya.
Kearifan
lokal selanjutnya adalah pada saat dalam perjalanan menuruni tangga-tangga
menuju Kampung Naga, tour guide kami berulang kali mengingatkan agar kami tidak
berkata sembarangan, tidak memotong ranting-ranting pohon dan juga tidak
mengganggu hewan-hewan yang berada di sekitar situ.
2.4
Kearifan Lokal yang Mendukung Pembangunan di Kampung Naga
Dari beberapa
kerifan lokal yang kami temukan dan telah kami jabarkan diatas, ada beberapa
kearifan lokal yang menurut kami memiliki beberapa pengaruh yang mampu
mendorong pembangunan di Kampung Naga, diantaranya adalah hasil pemikiran
masyarakat Kampung Naga mengenai sistem dan tata letak bangunan. Seperti yang
telah kami jelaskan di awal bahwa bangunan-bangunan di Kampung Naga terbuat
dari bahan seperti kayu untuk pondasi bangunan, dan juga bambu pada beberapa
bagianya. Sedangkan untuk atap menggunakan alang-alang kering kemudian ijuk
sebagai bagian paling atasnya. Walaupun terkesan konservatif, namun sistem
pembuatan bangunan seperti ini sekarang telah banyak ditiru di tempat-tempat
lain di luar Kampung Naga, bukan hanya di sekitar sekitar jawa barat tapi di
banyak daerah di indonesia. Karena telah terbukti bahwa bentuk bangunan
seperti ini memang jauh lebih tahan
gempa dibandingkan dengan bangunan-bangunan tembok seperti sekarang ini
2.5
Upaya Melestarikan Kearifan Lokal di Kampung
Naga
Berdasarkan
hasil pengamatan kelompok kami, setidaknya ada beberapa upaya dalam
melestarikan kearifan lokal yang ada di Kampung Naga. Diantaranya yang pertama
adalah memberikan pemahaman bahwa segala sesuatu yang dilarang oleh aturan adat
memiliki dampak positif bagi masyarakat Kampung Naga itu sendiri. Selain itu
juga memberikan batas yang jelas mengenai segala bentuk modernisasi apa yang
diperbolehkan masuk dan tidak diperbolehkan untuk masuk ke Kampung Naga.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Seperti telah
kami jelaskan di awal, bahwa kearifan lokal, yang dalam bahasa inggris disebut
dengan Local Wisdom memiliki pengertian
kira-kira yaitu kebijaksanaan seseorang atau sekelompok orang dalam menerima
hal-hal baru biasanya berupa nilai-nilai, gagasan, ataupun kebudayaan yang
datang dari luar.
Kampung
Naga sendiri adalah sebuah kampung adat yang secara administratif masuk ke
daerah Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di daerah ini, dimana aturan adat
masih dijaga dengan ketat. Ada beberapa kearifan lokal khas Kampung Naga yang
tidak dapat kita temukan di daerah lain. Misalnya saja Kampung Naga yang mampu
hidup tanpa listrik dan perabotan rumah tangga yang bersifat elektronik.
Kearifan lokal mereka dalam menjaga lingkungan, diantaranya berupa adanya hutan
larangan. Selanjutnya ada pula kearifan lokal lainya, yaitu membangun rumah
dengan bahan-bahan tradisionil yang keseluruhanya berada di alam. Mungkin
sedikit unik dan juga terlihat kuno, namun dibalik hal yang kita nilai kuno itu
ternyata teknologi pembuatan rumah di Kampung
Naga telah lebih berhasil dalam menahan gelombang getaran gempa dibandingkan
dengan rumah-rumah berbahan modern yang telah umum kita temui dalam kehidupan
masyarakat di tempat lain.
Tidak
dapat kita pungkiri kearifan-kearifan lokal yang berada di Kampung Naga, ada
beberapa yang mungkin tidak disadari mendukung pembangunan yang ada di Kampung Naga.
Diantaranya adalah dalam sistem pengetahuan mengenai pembangunan rumah. Seperti
yang telah kami jelaskan di atas. Seluruh bangunan yang ada di Kampung Naga
berbentuk rumah panggung, dengan bangunan seluruhnya terbuat dari kayu dan juga
bambu sebagai bahan bangunan rumah. Sedangkan untuk atap, para warga di Kampung
Naga menggunakan bahan alang-alang yang diatasnya dilapisi ijuk. Sekilas
mungkin kita akan berpikir bahwa betapa kunonya model bangunan seperti ini.
Tetapi siapa sangka bahwa dibalik kekunoan model bangunan ini, justru sangat
tahan gempa. Buktinya pada saat kota Tasikmalaya dan sekitarnya diguncang gempa
pada tahun 2009, tidak ada kerusakan yang berarti pada bangunan-bangunan yang
ada di Kampung Naga, kontras sekali dengan apa yang terjadi pada tempat tempat
lain di wilayah Tasikmalaya.
Yang
terakhir adalah upaya yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga untuk menjaga
dan memelihara kearifan lokal yang ada di wilayah mereka. Upaya yang pertama
adalah dengan senantiasa mengajarkan kepada keturunan-keturunan mereka sedari
dini tentanng kearifan lokal yang ada di Kampung Naga, karena bila pemahaman
generasi muda Kampung Naga tentang kearifan lokal mereka mulai tergerus, bukan
tidak mungkin di kemudian hari mereka akan meninggalkan kearifan lokal yang
telah turun menurun menjadi identitas masyarakat Kampung Naga.
3.2
Saran
Saran yang dapat
kami berikan untuk menjawab rumusan masalah yang telah kami buat diatas
diantaranya adalah pendidikan bagi generasi muda Kampung Naga, karena
berdasarkan data yang kami temukan di lapangan, bahwa kebanyakan orang-orang di
Kampung Naga hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat sekolah dasar.
Selain
itu juga mesti adanya pemberian pemahaman terhadap generasi muda Kampung Naga
mengenai pentingnya menjaga kearifan lokal sebagai warisan dari para leluhur
mereka. Sebab bila pemahaman generasi muda Kampung Naga akan pentingnya
kearifan lokal mulai hilang, bukan tidak mungkin beberapa puluh tahun ke depan,
Kampung Naga hanya akan menjadi desa-desa biasa seperti yang lainya.
Lalu
perlu juga adanya ketegasan tentang batas-batas modernisasi seperti apakah yang
boleh masuk ke Kampung Naga, karena tanpa kita sadari, pengaruh modernisasi
telah terus menerus masuk ke kampun naga, dan bila dibiarkan terus bukan tidak
mungkin di kemudian hari kebudayaan asli Kampung Naga ini akan hilang tergerus
arus modernisasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Halimah,
Uun. 2008. Rengkong (Kesenian Tradisional
Masyarakat Jawa Barat). http://uun-halimah.blogspot.com/2008/06/rengkong-kesenian-tradisional.html. 24
Mei 2012 [online].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar