Seperti biasa, saat
santai saya duduk di hadapan laptop ditemani secangkir susu jahe. Membaca berbagai
berita di internet yang semuanya melulu soal pemilihan presiden 9 Juli 2014. Saya
yang tak begitu paham politik, seketika menjadi sangat tertarik membaca
berbagai berita dengan judul headline yang sangat “bombastis” yang tak kadang
membuat kecewa karena konten berita sangat jauh dengan judulnya.
Seperti
yang selalu menjadi slogan, bahwa pemilihan presiden ini merupakan ‘pesta akbar’
bagi rakyat indonesia. Bagaimana tidak? Seketika obrolan politik tidak hanya
menjadi dominasi kaum intelek ahli politik maupun komunikasi dengan titel yang
berderet. Hampir di setiap sudut, di warung makan, supir kendaraan umum, bahkan
di warung kopi, semua orang asyik berdiskusi mengenai capres idola
masing-masing.
Saya
pun tak mau ketinggalan, sebagai mahasiswa tentu terkadang saya terlibat diskusi
mengenai politik baik diskusi dalam mata
kuliah ataupun sambil jajan-jajan cantik di sudut-sudut kampus. Perbedaan antara
saya dan teman-teman dalam berdiskusi tak sampai menimbulkan masalah pribadi
diantara kami, bahkan terkadang diakhiri dengan tertawa bersama. Tapi, apakah
kondisi yang sama juga dapat terjadi di lapisan masyarakat lainya yang (maaf)
mungkin berpendidikan tidak terlampau tinggi. Sedikti mengernyitkan kening saat
saya membaca berita mengenai dua orang tukang becak yang berkelahi setelah
membela capres idola nya masing-masing.
Tema
debat capres malam ini mengenai “Pembangunan
Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial” pasti akan menarik. Capres nomor 1
yang walaupun tidak pernah terlibat langsung dalam lingkaran kebijakan dalam
pembangunan ekonomi dan kesejahtraan sosial, tapi bukan berarti tidak memiliki
pengalaman langsung dengan ekonomi rakyat, salah satunya dengan menjadi ketua
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia. Capres nomor 2 tentu sudah jelas 2 periode
menjadi walikota Solo, beliau pasti mengerti bagaimana pembangunan ekonomi dan
kesejahtraan sosial.
Sekali
lagi saya seorang yang awam politik, minim pengetahuan tentang masing-masing calon
presiden, karena berbagai berita yang muncul di media, sulit sekali untuk
mempercayainya sebagai sesuatu yang bersifat objektif, tanpa secara diam-diam
atau malah secara terbuka mendukung salah satu calon. Sehingga ketika ditanya
siapa capres idola, saya hanya mampu tersenyum dan menggelengkan kepala tanda
tidak tahu.
Tapi
hari ini tanggal 15 Juni, 24 hari lagi menuju pesta akbar rakyat tersebut, mau
tidak mau saya pun harus berpusing-pusing ria menganalisis masing-masing calon
yang merupakan putra-putra terbaik bangsa ini, karena tidak mungkin saya
memilih dua-dua nya (walaupun sebenarnya sangat ingin), tapi lebih tidak
mungkin lagi bagi saya untuk tidak memilih keduanya, karena saya yakin suara
saya berpengaruh bagi perubahan bangsa ini.
Bicara
soal tokoh favorit, tak usah diragukan lagi bahwa saya adalah pengagum seorang
Jusuf Kalla, integritas, ketegasan dan sisi humanis beliau membuat saya ngotot
memilih beliau dalam pertarungan capres 2009 (namun akhirnya kalah). Bukan tanpa
alasan saya jatuh hati sama beliau, inovasi-inovasi selama beliau menjadi
wapres periode 2004-2009, keberhasilan perjanjian malino II hingga perjanjian
helsinki yang berhasil mengembalikan aceh ke tangan ibu pertiwi adalah berbagai
keberhasilan beliau selama menjabat sebagai wakil presiden. Perpaduan SBY dan
JK menurut saya adalah komposisi tepat pembangun bangsa, SBY yang seorang planner dan JK yang lebih banyak aksi.
Namun entah mengapa pada pilpres tahun ini
rasanya saya kehilangan minat untuk memilih beliau, ya jujur saya kecewa
mengapa beliau hanya menjadi wakil bagi sosok calon Joko Widodo. Saya bukan
antipati terhadap sosok capres satu ini, ketika beliau menjabat sebagai
walikota solo, saya sangat terkagum-kagum akan kehebatan beliau membatasi
jumlah pasar modern dan merevitalisasi pasar-pasar tradisonal, sebuah kebijakan
yang sangat “merakyat” dan tidak semua pemimpin mampu melawan kekuatan
kapitalisme. Saya pun mendukung saat beliau mencalonkan diri sebagai gubernur
DKI Jakarta, karena bagi saya kehebatan beliau sudah saatnya ditunjukan pada
lingkup yang lebih luas, ibukota negara ini. Tapi lagi-lagi saya harus menelan
kekecewaan saat beliau yang baru dua tahun menjabat sebagai orang nomor satu
akhirnya memilih juga untuk nyapres, mbok
ya kelihatan seperti yang sangat berambisi dan tidak mampu menjaga amanah
rakyat yang telah memilihnya. Padahal sebagai seorang muslim, adalah kewajiban
baginya menjaga amanah.
Prabowo subianto, adalah sosok yang mungkin baru
muncul lagi di panggung perpolitikan indonesia, setelah 16 tahun semedi dalam
perenunganya. Saya tidak banyak mengenal sosok beliau, karena semenjak tahun
1998 dimana saat itu saya masih seorang bocah ingusan yang ikut garuk-garuk
kepala kebingungan saat indonesia khususnya dilanda chaos dan presiden Soeharto
akhirnya mengundurkan diri, keluarga saya banyak membincangkan prabowo dengan
percakapan yang tidak dimengerti saya yang berumur 8 tahun. Mengutip kata Jusuf
Kalla bahwa semua orang memiliki dosa sosial di masa lalu, seharusnya itu pun
berlaku pada sosok ini, masihkah adil baginya untuk terus membicarakan kasus
1998, sementara KPU sendiri meloloskan beliau sebagai calon presiden? Apakah ini
berarti kita meragukan kinerja KPU?.
Hatta Rajasa sebagai wakil Prabowo pun sebenarnya
tidak terlampau banyak saya ketahui, kecuali saat putri cantiknya diambil
menantu oleh SBY dan kejadian si bungsu dan kecelakaan yang banyak menguras
perhatian masyarakat, walaupun akhir dari kasus tersebut tidak diungkap secara
jelas ke media. Tapi Hatta juga adalah seorang ekonom yang hebat, sebab jika
tidak mana mungkin beliau menjadi menteri koordinator bidang perekonomian (kecuali
jika ada alasan yang lain hehehe :p)
Maaf bagi siapapun yang membaca dan merasa tidak
setuju dengan tulisan saya ini. Tulisan ini lahir benar-benar hasil kegundahan
saya yang masih belum mempunyai capres pilihan sampai saat ini, dan semoga
waktu 24 hari ini cukup bagi saya untuk menentukan the right one diantara dua calon tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar