Pernahkah anda
melihat seseorang yang menjadi korban kecelakaan di jalan dan anda hanya mampu
memandanginya tanpa bertindak apa-apa? Ataukah anda lebih memilih untuk mencuci
atau melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya daripada mengunjungi rumah tetangga anda yang tertimpa kesulitan?.
Jika dua pertanyaan yang saya utarakan tersebut anda jawab “ya”, maka sadarkah
anda bahwa mungkin saja rasa kepedulian sosial yang anda miliki sudah mulai
terkikis?. Proses melunturnya kepedulian sosial di kalangan masyarakat
akhir-akhir ini menjadi sebuah fenomena tersendiri. Betapa tidak, sebuah bangsa
yang dikenal akan tingkat kehalusan budi pekertinya yang tinggi, bangsa yang
ramah dan santun yang dikenal selalu murah memberi senyum kepada siapapun, kini
telah berubah menjadi bangsa yang “egosentris” dan cenderung individualistis.
Betapa miris hati saya mendengar percakapan dua orang ibu di depan rumah saya beberapa
hari yang lalu, dimana mereka mengurungkan niat untuk bertakziah ke rumah salah seorang tetangga yang meninggal dunia hanya
karena mereka sedang sibuk mencuci dan merasa sangat “nanggung” untuk
meninggalkanya sebentar. Hal tersebut semakin menggelitik naluri saya untuk
mempertanyakan, kemanakah kepedulian sosial yang mereka miliki? Apakah ini
cerminan umum dari perilaku bangsa kita saat ini? Apakah kepedulian sosial
memang telah hilang dari karakter budaya bangsa kita ini?.
Satu fenomena lagi terkait dengan
kepedulian sosial di masyarakat adalah bahwa sekarang ini kepedulian sosial
lebih nyata ditunjukan melalui social media dalam dunia maya ketimbang dunia
nyata. Sudah bukan hal yang asing saat ini jika muncul suatu kejadian apapun,
kejadian baik dan lebih utama pada kejadian-kejadian buruk, semua orang akan
berbondong-bondong mengirimkan doa melalui social media menggunakan hashtag
#prayfor, semua orang seakan berlomba-lomba menunjukan diri menjadi orang yang
paling peduli, entah apakah memang mereka benar-benar seseorang yang memiliki
kepedulian sosial namun tak dapat melakukan hal yang lebih lagi dari sekedar
mengirimkan doa lewat social media atau hanya sekedar pencitraan semata,
entahlah. Saya jadi teringat akan iklan salah satu produk rokok “talk less do
more”, sebuah kata-kata singkat namun sangat sarat akan makna. Bukankah bentuk
tertinggi dari sebuah ‘kepedulian’ adalah dengan melakukan sesuatu ketimbang
hanya banyak berbicara?.
Walau tak dapat dituduh sebagai
biang keladi utama dari permasalahan ini, namun izinkanlah saya disini menunjuk
modernisasi sebagai salah satu pangkal penyebab terkikisnya beberapa
karakter-karakter yang telah membudaya di masyarakat, bahkan menjadi suatu
identitas tersendiri bagi bangsa ini. Arus informasi yang tanpa batas yang juga
telah turut “mengimpor” berbagai kebiasaan-kebiasaan baru yang sebelumnya tidak
begitu menyebar di kalangan masyarakat, salah satunya adalah menempatkan
kepentingan atau urusan pribadi diatas urusan apapun yang berkaitan dengan
urusan orang dan kelompok lain, atau yang lazim disebut sebagai individualistis
yang akhir-akhir seakan menjadi identitas baru masyarakat modern.
Kegiatan-kegiatan yang menuntut kerja sama seperti kerja bakti dan siskamling sekarang
tak lagi menjadi bagian akrab dari kehidupan masyarakat, semuanya digantikan
oleh peranan uang. Mereka menganggap bahwa dengan uang kehadiran mereka dapat
tergantikan. Lantas apakah inipun dapat disebut sebagai ciri-ciri masyarakat
yang materialistis?.
Lantas apa yang harus kita lakukan
dalam menyikapi berbagai fenomena terkait dengan kepedulian sosial di
masyarakat? hanya berpangku tangan dan menyaksikan bangsa ini akhirnya menjadi
bangsa-bangsa yang apatis? Menghitung waktu sampai pada akhirnya kepedulian
sosial memang menjadi suatu karakter yang terhapus dari budaya bangsa ini?
Tentu saja tidak. Tidak ada kata terlambat untuk merubah hal ini. Karena menurut
penulis kepedulian sosial merupakan salah satu modal dasar dalam kegiatan interaksi
manusia baik dari segi manusia sebagai individu maupun sebagai bagian dari
kelompok. Tak mungkin akan tercipta suatu bentuk interaksi yang baik tanpa
didasari oleh kepedulian yang tulus.
Berdasarkan pendapat penulis,
sebenarnya ada banyak cara untuk memupuk kembali kepedulian sosial sebagai
bagian dari karakter budaya bangsa ini. Dalam usaha ini tak hanya satu atau dua
pihak yang terlibat, namun harus melibatkan semua komponen dalam masyarakat.
Karena hal ini terkait dengan sikap, maka yang pertama kali harus dimiliki
adalah niat dan hati yang tulus, peduli pada sesama manusia dan makhluk lainnya
sebagai sama-sama ciptaan Tuhan yang memiliki harkat, martabat dan derajat yang
sama. Hal itulah yang terpenting, hati!!. Mengapa hati? Karena hati merupakan
cerminan kepribadian seseorang yang tak mungkin dilihat siapapun. Karena bahkan
guru terhebat pun belum tentu mampu mendidik seseorang memiliki kepedulian dan
kepekaaan sosial yang tinggi bila tidak disertai oleh niat dan hati yang tulu
dari seseorang yang bersangkutan.
Selanjutnya lingkungan keluarga pun
memiliki peranan tak kalah penting. Bagaimana mungkin seorang anak tumbuh
menjadi anak yang peduli akan kehidupan sekitarnya, jika ia “diasuh” oleh
lingkungan keluarga yang tak mendukung hal tersebut. Bagaimana seorang ayah
yang setiap hari merokok di rumah, sementara sang ibu menderita penyakit asma
dapat membentuk pribadi seorang anak menjadi anak yang memilik kepedulian
sosial, jika ayah tersebut mencontohkan ketidakpedulian kepada anak tersebut.
Lalu lingkungan masyarakat, biasakanlah untuk menyertakan segenap komponen
masyarakat dalam setiap kegiatan. Jangan biasakan mentolerir kealpaan warga
yang hanya memberikan uang untuk mengganti kehadirannya. Ingat, uang tak akan
pernah bisa menggantikan peran manusia!. Jujur saja di tengah kebosanan saya
terhadap sinetron-sinetron di televisi yang melulu menghadirkan contoh-contoh
tak baik seperti hedonisme dan sikap-sikap buruk lainya, penulis menemukan
beberapa nilai baik dari sebuah sinetron, yaitu Tukang Bubur Naik Haji. Disini
saya menemukan nilai bagaimana sebuah desa yang dipenuhi oleh masyarakat nya
yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi dan senantiasa menjaga hal
tersebut. Sholat berjamaah, kerja bakti, hingga berbondong-bondong menjenguk
tetangga yang sakit. Hubungan masyarakat yang indah bukan?.
Terakhir sekolah sebagai lembaga
pendidikan pun tentunya memiliki peranan untuk memupuk kepedulian sosial yang
mulai luntur di masyarakat. Disinilah seorang guru mempunyai tugas yang sangat
berat, yakni untuk mendidik murid-muridnya menjadi pribadi-pribadi yang
memiliki kepedulian sosial. Tentu saja hal ini harus dimulai dari guru
tersebut. bagaimana mungkin murid mampu menjadi pribadi yang memiliki
kepedulian sosial, jika guru nya saja secara tak langsung mencontohkan perilaku
acuh tak acuh?.
Kepedulian sosial mungkin bukan
bentuk-bentuk budaya nyata yang manakala menunjukan tanda-tanda akan punah,
akan langsung terlihat. Tapi sebagai sebuah karakter, manakala hilang, maka
hilanglah suatu bangsa tersebut. karena apalah arttinya suatu bangsa tanpa
memiliki karakter. Maka sebelum kepedulian sosial itu benar-benar hilang, maka
pupuklah kembali agar hal itu tetap tertanam menjadi karakter khas bangsa
Indonesia.
Mari kita bersama hindarkan bangsa
ini dari kemungkinan menjadi bangsa-bangsa tanpa karakter, selamat berjuang !!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar