Minggu, 22 September 2013

Melunturnya Kepedulian Sosial sebagai Bagian Karakter Budaya Bangsa


Pernahkah anda melihat seseorang yang menjadi korban kecelakaan di jalan dan anda hanya mampu memandanginya tanpa bertindak apa-apa? Ataukah anda lebih memilih untuk mencuci atau melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya daripada mengunjungi  rumah tetangga anda yang tertimpa kesulitan?. Jika dua pertanyaan yang saya utarakan tersebut anda jawab “ya”, maka sadarkah anda bahwa mungkin saja rasa kepedulian sosial yang anda miliki sudah mulai terkikis?. Proses melunturnya kepedulian sosial di kalangan masyarakat akhir-akhir ini menjadi sebuah fenomena tersendiri. Betapa tidak, sebuah bangsa yang dikenal akan tingkat kehalusan budi pekertinya yang tinggi, bangsa yang ramah dan santun yang dikenal selalu murah memberi senyum kepada siapapun, kini telah berubah menjadi bangsa yang “egosentris” dan cenderung individualistis. Betapa miris hati saya mendengar percakapan dua orang ibu di depan rumah saya beberapa hari yang lalu, dimana mereka mengurungkan niat untuk bertakziah ke rumah salah seorang tetangga yang meninggal dunia hanya karena mereka sedang sibuk mencuci dan merasa sangat “nanggung” untuk meninggalkanya sebentar. Hal tersebut semakin menggelitik naluri saya untuk mempertanyakan, kemanakah kepedulian sosial yang mereka miliki? Apakah ini cerminan umum dari perilaku bangsa kita saat ini? Apakah kepedulian sosial memang telah hilang dari karakter budaya bangsa kita ini?.
            Satu fenomena lagi terkait dengan kepedulian sosial di masyarakat adalah bahwa sekarang ini kepedulian sosial lebih nyata ditunjukan melalui social media dalam dunia maya ketimbang dunia nyata. Sudah bukan hal yang asing saat ini jika muncul suatu kejadian apapun, kejadian baik dan lebih utama pada kejadian-kejadian buruk, semua orang akan berbondong-bondong mengirimkan doa melalui social media menggunakan hashtag #prayfor, semua orang seakan berlomba-lomba menunjukan diri menjadi orang yang paling peduli, entah apakah memang mereka benar-benar seseorang yang memiliki kepedulian sosial namun tak dapat melakukan hal yang lebih lagi dari sekedar mengirimkan doa lewat social media atau hanya sekedar pencitraan semata, entahlah. Saya jadi teringat akan iklan salah satu produk rokok “talk less do more”, sebuah kata-kata singkat namun sangat sarat akan makna. Bukankah bentuk tertinggi dari sebuah ‘kepedulian’ adalah dengan melakukan sesuatu ketimbang hanya banyak berbicara?.
            Walau tak dapat dituduh sebagai biang keladi utama dari permasalahan ini, namun izinkanlah saya disini menunjuk modernisasi sebagai salah satu pangkal penyebab terkikisnya beberapa karakter-karakter yang telah membudaya di masyarakat, bahkan menjadi suatu identitas tersendiri bagi bangsa ini. Arus informasi yang tanpa batas yang juga telah turut “mengimpor” berbagai kebiasaan-kebiasaan baru yang sebelumnya tidak begitu menyebar di kalangan masyarakat, salah satunya adalah menempatkan kepentingan atau urusan pribadi diatas urusan apapun yang berkaitan dengan urusan orang dan kelompok lain, atau yang lazim disebut sebagai individualistis yang akhir-akhir seakan menjadi identitas baru masyarakat modern. Kegiatan-kegiatan yang menuntut kerja sama seperti kerja bakti dan siskamling sekarang tak lagi menjadi bagian akrab dari kehidupan masyarakat, semuanya digantikan oleh peranan uang. Mereka menganggap bahwa dengan uang kehadiran mereka dapat tergantikan. Lantas apakah inipun dapat disebut sebagai ciri-ciri masyarakat yang materialistis?.
            Lantas apa yang harus kita lakukan dalam menyikapi berbagai fenomena terkait dengan kepedulian sosial di masyarakat? hanya berpangku tangan dan menyaksikan bangsa ini akhirnya menjadi bangsa-bangsa yang apatis? Menghitung waktu sampai pada akhirnya kepedulian sosial memang menjadi suatu karakter yang terhapus dari budaya bangsa ini? Tentu saja tidak. Tidak ada kata terlambat untuk merubah hal ini. Karena menurut penulis kepedulian sosial merupakan salah satu modal dasar dalam kegiatan interaksi manusia baik dari segi manusia sebagai individu maupun sebagai bagian dari kelompok. Tak mungkin akan tercipta suatu bentuk interaksi yang baik tanpa didasari oleh kepedulian yang tulus.
            Berdasarkan pendapat penulis, sebenarnya ada banyak cara untuk memupuk kembali kepedulian sosial sebagai bagian dari karakter budaya bangsa ini. Dalam usaha ini tak hanya satu atau dua pihak yang terlibat, namun harus melibatkan semua komponen dalam masyarakat. Karena hal ini terkait dengan sikap, maka yang pertama kali harus dimiliki adalah niat dan hati yang tulus, peduli pada sesama manusia dan makhluk lainnya sebagai sama-sama ciptaan Tuhan yang memiliki harkat, martabat dan derajat yang sama. Hal itulah yang terpenting, hati!!. Mengapa hati? Karena hati merupakan cerminan kepribadian seseorang yang tak mungkin dilihat siapapun. Karena bahkan guru terhebat pun belum tentu mampu mendidik seseorang memiliki kepedulian dan kepekaaan sosial yang tinggi bila tidak disertai oleh niat dan hati yang tulu dari seseorang yang bersangkutan.
            Selanjutnya lingkungan keluarga pun memiliki peranan tak kalah penting. Bagaimana mungkin seorang anak tumbuh menjadi anak yang peduli akan kehidupan sekitarnya, jika ia “diasuh” oleh lingkungan keluarga yang tak mendukung hal tersebut. Bagaimana seorang ayah yang setiap hari merokok di rumah, sementara sang ibu menderita penyakit asma dapat membentuk pribadi seorang anak menjadi anak yang memilik kepedulian sosial, jika ayah tersebut mencontohkan ketidakpedulian kepada anak tersebut. Lalu lingkungan masyarakat, biasakanlah untuk menyertakan segenap komponen masyarakat dalam setiap kegiatan. Jangan biasakan mentolerir kealpaan warga yang hanya memberikan uang untuk mengganti kehadirannya. Ingat, uang tak akan pernah bisa menggantikan peran manusia!. Jujur saja di tengah kebosanan saya terhadap sinetron-sinetron di televisi yang melulu menghadirkan contoh-contoh tak baik seperti hedonisme dan sikap-sikap buruk lainya, penulis menemukan beberapa nilai baik dari sebuah sinetron, yaitu Tukang Bubur Naik Haji. Disini saya menemukan nilai bagaimana sebuah desa yang dipenuhi oleh masyarakat nya yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi dan senantiasa menjaga hal tersebut. Sholat berjamaah, kerja bakti, hingga berbondong-bondong menjenguk tetangga yang sakit. Hubungan masyarakat yang indah bukan?.
            Terakhir sekolah sebagai lembaga pendidikan pun tentunya memiliki peranan untuk memupuk kepedulian sosial yang mulai luntur di masyarakat. Disinilah seorang guru mempunyai tugas yang sangat berat, yakni untuk mendidik murid-muridnya menjadi pribadi-pribadi yang memiliki kepedulian sosial. Tentu saja hal ini harus dimulai dari guru tersebut. bagaimana mungkin murid mampu menjadi pribadi yang memiliki kepedulian sosial, jika guru nya saja secara tak langsung mencontohkan perilaku acuh tak acuh?.
            Kepedulian sosial mungkin bukan bentuk-bentuk budaya nyata yang manakala menunjukan tanda-tanda akan punah, akan langsung terlihat. Tapi sebagai sebuah karakter, manakala hilang, maka hilanglah suatu bangsa tersebut. karena apalah arttinya suatu bangsa tanpa memiliki karakter. Maka sebelum kepedulian sosial itu benar-benar hilang, maka pupuklah kembali agar hal itu tetap tertanam menjadi karakter khas bangsa Indonesia.
            Mari kita bersama hindarkan bangsa ini dari kemungkinan menjadi bangsa-bangsa tanpa karakter, selamat berjuang !!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar