Rabu, 27 November 2013

selamat, untuk kamu yang tak akan lagi pernah tergapai

pepatah yang mengatakan, waktu yang akan menyembuhkan segalanya, tampaknya memang tepat
waktu dan mungkin kesibukan pula yang membuat aku lupa bahwa ini telah lewat pertengahan bulan november, bulan yang selalu aku takuti.
waktu pula yang mungkin telah berusaha menyembuhkan aku dari tangisan diam-diam setiap malam, ataupun ratapan dalam setiap doa yang kurapal
ini pertengahan bulan november, tepatnya tanggal 18
oh iya, selamat 18 november yang keenam ya, kamu yang tak akan pernah lagi tergapai
andai saja dengan umur 16 kita telah cukup dewasa untuk tak mempertahankan ego masing-masing
andai saja aku yang masih polos dengan rok abu-abu ku tak terlalu sering memelototimu dan bersuara dengan nada tinggi
ah sudahlah
6 tahun dapat merubah segalanya sayang
kita yang kini tak lagi berseragam abu-abu
kita yang kini tengah berjuang dengan status "mahasiswa" kita, berjuang menata masa depan masing-masing
ya, lupakan saja janji untuk hidup menua bersama karena itu hanyalah mimpi yang telah kukubur enam tahun ini

selamat, untuk kamu yang tak akan lagi pernah tergapai
aku hanya dapat mendoakanmu dari jauh
mendoakan seandainya kamu tersesat, maukah Tuhan segera menunjukan jalan pulang untukmu kepadaku?
semoga tahun depan dan berikutnya, masih ada 18 november lainya yang dapat kuucapkan padamu sayang

pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Penulisan Makalah
            Jika dilihat dari perkembangan zaman saat ini, tidak sedikit para generasi muda yang tidak memahami warisan kebudayaan bangsanya sendiri. Hingga sedikit demi sedikit mengikis jiwa kebangsaan mereka. Walaupun masalah pengetahuan kebudayaan tidak menjadi materi penting dalam kurikulum sekolah dasar maupun menengah, tapi sebenarnya materi ini seharusnya sudah ada pada kurikulum sekolah dasar.
            Globalisasi dan modernisasi industri juga sedikit banyak sudah mengganggu kestabilan ekosistem dunia.Manusia dan alam seharusnya bisa hidup dengan berdampingan dan menciptakan keharmonisan anatara keduanya.Namun yang terjadi saat ini adalah manusia yang lebih berkuasa atas alam.Manusia mengeksploitasi alam tanpa memperhatikan keberlangsungannya untuk waktu yang lama dan hanya berorientasi pada keuntungan pribadi.
            Selain sebagai warisan kebudayaan yang harus dipertahankan, kearifan lokal masyarakat Jawa Barat juga bisa menjadi salah satu solusi yang mungkin bisa menyelesaikan permasalahan lingkungan akibat modernisasi industri yang tengah melanda seluruh dunia saat ini.hal ini dikarenakan masyarakat tradisional yang ada di wilayah Jawa Barat masih mempertahankan tata cara penataan lingkungan yang bersahabat dengan alam. Sehingga tidak akan mengganggu ataupun merusak kestabilan ekosistem manusia.
            Oleh karena itu disusunnya makalah ini semoga bisa menambah pengetahuan kita khususnya dalam pengelolaan lingkungan yang dikombinasikan dengan nilai-nilai tradisional yang ramah lingkungan.Sehingga kearifan lokal yang terus dijaga di beberapa wilayah Jawa Barat tidak hanya sebagai warisan lokal yang harus dijaga tapi nilainya bertambah sebagai solusi atas masalah lingkungan saat ini.Agar budaya dan lingkungan dapat hidup berdampingan sampai kepada anak cucu kita nantinya.
1.2 Rumusan Masalah
a)      Apa yang dimaksud dengan kearifan lokal?
b)      Bagaimanakah peran kearifan local dalam pengelolaan lingkungan?
c)      Bagaimana pengelolaan lingkungan yang berbasis kearifan local di wilayah Baduy?
d)     Bagaimana pengelolaan lingkungan yang berbasis kearifan local di wilayah Gunung Halimun?
e)      Bagaimana pengelolaan lingkungan yang berbasis kearifan local di wilayah Kampung Naga?
f)       Bagaimana pengelolaan lingkungan yang berbasis kearifan local di wilayah Kampung Kuta?
g)      Bagaimanakah relasi dan keterkaitan antara Tuhan, manusia, dan alam?

1.3  Tujuan Penulisan Makalah
a)      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kearifan lokal
b)      Untuk mengetahui bagaimanakah peran kearifan local dalam pengelolaan lingkungan
c)      Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan lingkungan yang berbasis kearifan local di wilayah Baduy
d)     Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan lingkungan yang berbasis kearifan local di wilayah Gunung Halimun
e)      Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan lingkungan yang berbasis kearifan local di wilayah Kampung Naga
f)       Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan lingkungan yang berbasis kearifan local di wilayah Kampung Kuta
g)      Untuk memahami bagaimanakah relasi dan keterkaitan antara Tuhan, manusia, dan alam?




BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kearifan Lokal
Keadaan lingkungan kita sekarang memang memiliki berbagai masalah yang mengglobal.Dampak masalah-masalah lingkungan ini dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di seluruh dunia.Masalah-masalah lingkungan ini membutuhkan solusi penanganan lingkungan yang dapat membuat keadaan lingkungan kita menjadi lebih baik.Mengapa kita tidak berkaca ke masa lalu saat lingkungan kita masih asri. Bagaimana cara orang-orang pada saat itu menjaga lingkungan mereka? Jawabannya mereka menerapkan kearifan lokal. “ketakutan akan hancurnya lingkungan hidup di Indonesia tidak akan terjadi bila kearifan lingkungan atau kearifan lokal masyarakat (local wisdom) yang sudah ada di dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu tetap terpelihara dengan baik…”(Fadmin Prihatin Malau ,Kembali kepada Kearifan Lokal Lingkungan Indonesia). Oleh karena itu sebaiknya kita mulai kembali kepada kearifan lokal dalam usaha kita menjaga lingkungan.
Karena kita tidak dapat memungkiri bahwa kearifan lokal terancam tergerus dengan budaya instan dan tidak berpikir jangka panjang.Untuk mencegah kearifan lokal agar terus ada dan berkembang kita semua memiliki tanggung jawab untuk memeliharanya. Kalau bukan kita yang menjaga kearifan lokal di Indonesia siapa lagi yang akan menjaganya. Marilah kita terapkan kearifan lokal dalam menjaga lingkungan kita mulai dari diri kita sendiri, dari hal yang kecil dan mulai saat ini.
Untuk mulai menerapkan kearifan lokal tentu saja kita harus mengetahui dan mengenal kearifan lokal.Pertama kita mulai dari pengertian kearifan lokal.Menurut Petrasa Wacana  kearifan lokal merupakan seperangkat pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu kelompok masyarakat setempat (komunitas) yang terhimpun dan terangkum dari pengalaman panjang manusia menggeluti alam dalam ikatan hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak (manusia dan lingkungan) secara berkelanjutan dan dengan ritme yang harmonis. Kemudian kita lanjutkankan dengan kearifan lokal yang spesifik mengenai lingkungan yaitu kearifan lingkungan.Kearifan lingkungan (ecological wisdom) merupakan pengetahuan yang diperoleh dari abstraksi pengalaman adaptasi aktif terhadap lingkungannya yang khas.Pengetahuan tersebut diwujudkan dalam bentuk ide, aktivitas dan peralatan.Kearifan lingkungan yang diwujudkan ke dalam tiga bentuk tersebut dipahami, dikembangkan, dipedomani dan diwariskan secara turun-temurunoleh komunitas pendukungnya.Sikap dan perilaku menyimpang dari kearifan lingkungan, dianggap penyimpangan (deviant), tidak arif, merusak, mencemari, mengganggu dan lain-lain. Kemudian  kita juga dapat menggali lebih dalam lagi mengenai kearifan lingkungan. Kearifan lingkungan dimaksudkan sebagai aktivitas dan proses berpikir, bertindak dan bersikap secara arif dan bijaksana dalam mengamati, mamanfaatkan dan mengolah alam sebagai suatu lingkungan hidup dan kehidupan umat manusia secara timbal balik. Kesuksesan kearifan lingkungan itu biasanya ditandai dengan produktivitas, sustainabilitas dan equtablitas atau keputusan yang bijaksana, benar, tepat, adil, serasi dan harmonis.
Menurut Munsi Lampe melalui artikelnya yang berjudul “Kearifan Tradisional Lingkungan Belajar dari Kasus Komunitas-Komunitas Petani dan Nelayan Tradisional” Kearifan lingkungan di Indonesia menjadi topik perbincangan yang menarik, bahkan mendesak kepentingannya sehubungan dengan isu program rehabilitasi dan pengelolaan lingkungan, khususnya lingkungan ekosistem laut (mangrof dan terumbu karang) yang mengalami kerusakan pada hampir semua daerah perairan pantai dan pulau - pula, yang menurut hasil penelitian, banyak diakibatkan oleh perilaku pemanfaat, terutama komunitas-komnitas nelayan itu sendiri.
2.2 Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan
Sejarah peradapan telah menunjukkan betapa usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya telah menimbulkan kesengsaraan berupa bencana alam yang disebabkan karena manusia tidak mampu mengendalikan ketamakannya.Mengalami hal tersebut, manusia mulai berfikir dan bekerja secara aktif untuk memahami lingkungannya yang memberikan tantangan dan mengembangkan cara-cara yang paling menguntungkan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup yang terus cenderung meningkat dalam jumlahnya, ragam dan mutunya.
Manusia berusaha memahami alam semesta beserta isinya, memilah-milah gejala yang nampak nyata atau tidak nyata ke dalam sejumlah kategori untuk mempermudah mereka dalam menghadapi alam secara lebih efektif.Dengan kemampuan bekerja dan berfikir secara metaforik, manusia tidak lagi mengandalkan naluri dalam beradaptasi dengan lingkungan.Ia mulai secara aktif mengolah sumberdaya alam dan mengelola lingkungan sesuai dengan resep-resep budaya yang merupakan himpunan abstraksi pengalaman mereka menghadapi tantangan. Manusia dalam beradaptasi, mengembangkan kearifan lingkungan yang berwujud ideasional berupa pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya, aktifitas serta peralatan, sebagai hasil abstraksi pengalaman yang dihayati oleh segenap masyarakat pendukungnya dan yang menjadi pedoman atau kerangka acuan untuk melihat, memahami, memilah-milah gejala yang dihadapi serta memilih strategi bersikap maupun bertindak dalam mengelola lingkungan.
Keanekaragaman pola-pola adaptasi manusia terhadap lingkungan, terkadang tidak mudah dimengerti oleh pihak ketiga yang mempunyai latar belakang sosial dan kebudayaan yang berbeda.Namun demikian, keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap lingkungan tersebut merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangungan yang berkelanjutan.
Masyarakat Indonesia dengan ribuan komunitas mengembangkan kearifan lokal sesuai dengan karakterisktik lingkungan yang khas. Secara suku bangsa terdapat lebih kurang 555 suku bangsa atau sub suku bangsa yang tersebar di wilayah Kepulauan Nusantara. Dalam beradaptasi terhadap lingkungan, kelompok-kelompok masyarakat tersebut mengembangkan kearifan lingkungan sebagai hasil abstraksi pengalaman mengelola lingkungan.Sering kali pengetahuan mereka tentang lingkungan setempat sangat rinci dan menjadi pedoman yang akurat bagi masyarakat yang mengembangkan kehidupan di lingkungan pemukiman mereka.Pengetahuan rakyat itu biasanya berbentuk kearifan yang sangat dalam maknanya dan sangat erat kaitannya dengan pranata kebudayaan, terutama pranata kepercayaan (agama) dan hukum adat yang kadang-kadang diwarnai dengan mantra-mantra.Ia merupakan kumpulan abstraksi pengalaman yang dihayati oleh segenap anggota masyarakat pendukungnya dan menjadi pedoman atau kerangka acuan untuk melihat, memahami dan memilah-milah gejala yang dihadapi serta memilih strategi dalam bersikap maupun bertindak dalam mengelola lingkungan. Perbedaan acuan, pandangan/penilaian, standar, ukuran atau kriteria tersebut, dapat menimbulkan benturan atau konflik antara masyarakat lokal dengan pengusaha maupun pemerintah.Padahal, pembangunan berkelanjutan memungkinkan pemanfaatan kearifan dan sumber-sumber daya sosial sebagai modal dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Kurangnya perlindungan atau penghormatan terhadap kearifan lingkungan yang dikembangkan masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alama, antara lain disebabkan oleh kurangnya pemahaman para pihak terkait (stakeholders) dan tidak bersedianya informasi mengenai kearifan lingkungan. Sejumlah konflik yang muncul mengenai lingkungan lebih banyak melibatkan masyarakat adat dengan masyaralat lain yang tidak mengalami kearifan lokal dan adat suatu masyarakat tentang bagaimana masyarakat tersebut mengelola lingkungannya secara tradisional termasuk pelanggaran pemilikan tanah secara adat. Karena itu, langkah yang tepat dalam usaha untuk mewujudkan kearifan lingkungan adalah dengan mengkaji kembali tragedi yang ada di masyarakat tentang usaha mereka untuk mewujudkan keseimbangan kehidupannya dengan lingkungannya.Tradisi dan aturan lokal yang tercipata dan diwariskan turun menurun untuk mengelola lingkungan, dapat merupakan materi penting bagi penyusunan kebijakan yang baru tentang lingkungan.Norma-norma yang mengatur kelakuan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya, ditambah dengan kearifan ekologi tradisional yang mereka miliki, merupakan etika lingkungan yang mempedomani perilaku manusia dalam mengelola lingkungannya.
Kriteria kearifan lokal yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) terdiri dari:
1. Nilai-Nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat
2. Melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari dan berkelanjutan
Kriteria Pengetahuan Tradisional (PT) terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Harry Alexander dan Miranda Risang Ayu, 2011), secara garis-besar, adalah:
1. Dihasilkan, direpresentasikan, dikembangkan, dilestarikan, dan ditransmisikan dalam konteks tradisional dan antargenerasional,
2. Secara nyata dapat dibedakan, atau diakui menurut kebiasaan, sebagai berasal dari suatu komunitas masyarakat hukum adat, yang melestarikan dan mentransmisikan Pengetahuan Tradisional (PT) tersebut dari generasi ke generasi, dan terus menggunakan dan mengembangkannya dalam konteks tradisional di dalam komunitas itu sendiri,
3. Merupakan bagian integral dari indentitas budaya suatu masyarakat hukum adat, yang dikenal dan diakui sebagai pemegang hak atas Pengetahuan Tradisional (PT) itu melalui aktivitas pemangkuan, penjagaan, pemilikan kolektif, maupun tanggung-jawab budaya. Kaitan antara Pengetahuan Tradisional (PT) dan pemangkunya ini dapat diungkapkan, baik secara formal atau informal, melalui praktek-praktek kebiasaan atau praktek-praktek tradisional, protokol, atau hukum nasional yang berlaku.
4. Diwariskan dari generasi ke generasi, meski pun pemakaiannya mungkin tidak terbatas lagi di dalam komunitas terkait saja.
2.3 Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan di Wilayah Baduy
Baduy, jika mendengar kata ini pasti pikiran kita langsung tertuju pada suku yang primitif, miskin dan konservatif.Namun, mereka memiliki karifan lokal dalam mengelola lingkungannya.Di Baduy banyak hunian pendudukan berdekatan dengan sungai, tetapi tidak terjadi bencana banjir melanda permukiman.Hal ini karena masyarakat Baduy memiliki metode pengelolaan alam khususnya hutan di kawasan Bumi Baduy.
Ignas Triyono, Pemenang Terbaik Kategori Umum Lomba Opini Hutan Lindung, PP 02/2008 dan Keselamatan Rakyat menulis dalam Belajarlah Lingkungan Hidup ke Bumi Baduy.Tanah di Baduy dibagi menjadi tiga peruntukan; yaitu sebagai lahan perladangan, permukiman, serta hutan lindung.Suku Baduy mempunyai areal yang dijadikan hutan lindung.Hutan lindung berfungsi sebagai areal resapan air. Pepohonan di areal ini tidak boleh ditebang untuk dijadikan apa pun, termasuk untuk ladang. Hutan ini juga membantu menjaga keseimbangan air dan kejernihan air di Baduy, terlebih di Baduy Dalam.
Kesadaran masyarakat Baduy terhadap lingkungan hidup, khususnya dalam menjaga kelestarian hutan dan air sungguh luar biasa. Ada di sana ada pikukuh (adat yang kuat) yang diturunkan dari generasi ke generasi. Salah satu pikukuh itu berbunyi
”Gunung teu meunang dilebur, Lebak teu meunang diruksak, Larangan teu meunang dirempak, Buyut teu meunang dirobah, Lojor teu meunang dipotong, Pondok teu meunang disambung”
(Gunung tidak boleh dihancurkan, Lembah tidak boleh rusak, Larangan tidak boleh langgar,Amanat tidak boleh dirubah, Panjang tidak boleh dipotong, Pendek tidak boleh    disambung)
Makna pikukuh itu antara lain tidak mengubah sesuatu, atau dapat juga berarti menerima apa yang sudah ada tanpa menambahi atau mengurangi yang ada. Insan Baduy yang melanggar pikukuh akan memperoleh ganjaran adat dari puun (pimpinan adat tertinggi) seperti dikeluarkan dari kelompoknya..Pengamalan pikukuh yang taat menyebabkan masyarakat Baduy memiliki kearifan dalam berhubungan dengan alam.
Harim Zone
Salah satu kearifan yang berasal dari ajaran agama adalah harim zone. Fachruddin Mangunjaya penulis buku Khazanah Alam: Menggali Tradisi Islam untuk Konservasi seperti yang dikutip oleh Majalah Sabili mengatakan bahwa, harim zone mewajibkan setengah dari lebar sungai ke kiri dan ke kanan, terbebas dari bangunan dan membiarkan vegetasi serta tumbuhan bebas sebagai penyangga sungai. ”Selain itu, hal ini untuk membuat daerah resapan sungai.Di zaman Rasulullah pendirian bangunan di bantaran sungai dilarang untuk memelihara ekstensi air,” jelasnya.Tradisi ini dihidupkan kembali sebagai sumbangan pada pemeliharaan lingkungan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.
Sekilas suku baduy memiliki cirri  Baju tak pernah ganti, kemana-mana selalu jalan kaki. Tapi tunggu dulu, jangan lupa pepatah bijak tersurat: “jangan lihat jeruk dari kulitnya”.  Suku Baduy menempati 53 kampung di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak.Perkampungan masyarakat Baduy pada umumnya terletak pada daerah aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng - Banten Selatan.Letaknya sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta; sekitar 65 km sebelah selatan ibukota Provinsi Banten.Baduy dibagi menjadi dua, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Secara garis besar, adat yang dipegang Baduy Dalam dan Baduy Luar sama. Secara tradisional pimpinan tertinggi pemerintahan pada masyarakat Baduy disebut puun.  
Kearifan lokal masyarakat Baduy adalah energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif untuk hidup di atas nilai-nilai yang membawa kelangsungan hidup yang berkeadaban.Hidup damai.Hidup rukun.Hidup bermoral.Hidup saling asih, asah, dan asuh.Hidup dalam keragaman.Hidup penuh maaf dan pengertian.Hidup toleran dan jembar hati.Hidup harmoni dengan lingkungan.Hidup dengan orientasi nilai-nilai yang membawa pada pencerahan.Hidup untuk menyelesaikan persoalan-persoalan berdasarkan mozaik nalar kolektif sendiri.Kearifan seperti itu tumbuh dari dalam lubuk hati masyarakat Baduy.
            Lewat sistem kepercayaan, adat, serta niat untuk menjaga keseimbangan alam, suku Baduy terbukti mampu menghidupi diri mereka sekaligus melestarikan alam. Bagi orang-orang Baduy, secuilpun tak akan berani mengganggu keutuhan dan kelestarian hutan-hutan titipan. Karena derajat kedosaannya bila mengganggu hutan jauh lebih tinggi dari dosa membunuh sesama manusia.Apalagi bagi orang Baduy yang beragama Sunda Wiwitan, menjaga alam merupakan kewajiban dan tiang dasar agamanya, sehingga harus ditaati dan dilaksanakan dengan penuh kepasrahan. Kewajiban tersebut tersirat dalam pegangannya: Lonjor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (Panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung). 
Kehidupan suku Baduy memiliki ketergantungan besar terhadap alam.Ketergantungan ini diimbangi dengan menjaga alam dari kerusakan.Tanah di Baduy dibagi menjadi tiga peruntukan, yaitu sebagai lahan perladangan, permukiman, serta hutan lindung.Suku Baduy mempunyai areal yang dijadikan hutan lindung.Hutan lindung berfungsi sebagai areal resapan air. Pepohonan di areal ini tidak boleh ditebang untuk dijadikan apa pun, termasuk untuk ladang.Hutan ini juga membantu menjaga keseimbangan air dan kejernihan air di Baduy, terlebih di Baduy Dalam.
            Pada era otonomi daerah, Desa Kenekes ditetapkan sebagai tanah hak ulayat, seperti yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Dengan tanah hak ulayat seluas 5.136,58 hektar, masyarakat Baduy mendapat kewenangan untuk mengelola sendiri kawasan adat tersebut.Dan, inilah satu-satunya masyarakat adat di Indonesia yang sudah memiliki regulasi yang mengakui hak-hak masyarakat adat.Kiranya, kearifan lokal Baduy ini bisa menjadi cermin bagi wilayah-wilayah lainnya pada masa otonomi daerah saat ini.
Selain itu, orang baduy menambah ketatnya pelastarian alam mereka dengan upacara adat, salah satu upacara tersebut yang bernama, upacara kawalu.Upacara ini pada dasarnya bagi orang baduy adalah melakukan bersih-bersih kampung, baik baduy luar, baduy dalam, dan baduy dangka.Di moment upacara kawalu ini pula, orang baduy melakukan pembersihan terhadap sampah-sampah yang berada di sungai ciujung. Sedikit informasi, bulan kawalu adalah bulan suci bagi orang baduy, selama bulan lawalu, akan diadakan beberapa upacara adat lama orang baduy khususnya di kampung baduy dalam. 
Mengenai soal keramatnya hutan lembur atau hutan larangan tersebut, ada hal yang ternyata bertujuan lain dengan adanya label keramat di hutan tersebut, secara tersirat Puun menyebut bahwa adanya mata air di dalam hutan tersebut menjadi hal yang wajib untuk dilindungi oleh masyarakat baduy dengan berbagai cara. Artinya label keramat semata dilekatkan untuk membuat orang luar baduy menjadi enggan untuk mengunjungi hutan tersebut. 


Belajar kembali dari pikukuh Lojor teu meunang dipotong, Pondok teu meunang disambung bahwa orang masih mewarisi siat nenek moyang kita yaitu pola hidup sederhana. Mereka adalah kelompok otonom yang selalu bersukur dengan apa yang di dapat dan tidak bergantung pada kelompok lain. Mereka mencukupi diri sendiri begitu rupa sehingga kalau ada anak yang tidak menghabiskan nasi maka akan di takut takuti dengan peringatan bahwa nasi itu akan menangis.
Itulah sebabnya ada beberapa ritual untuk panen dan sebagainya semata mata karena mereka sangat menghormati padi sehingga muncul kepercayaan metafisik.
            Pada masyarak petani ladang, hutan adalah bagian dari ladang dan masyarakat manusia.Hancurnya hutan berarti hancurnya ladang dan akhirnya hancurnya manusia. Oleh sebab itu mereka selalu mengenal adanya hutan larangan.dengan adanya pikukuh Gunung teu meunang dilebur, Lebak teu meunang diruksak, Larangan teu meunang dirempak,  jelaas bahwa suku baduy telah jauh mengenal dirinya mengenal alam lingkunganya dan mengenal penciptanya. Mereka mempunyai pengatahuan yang lebih dari kita sebagai manusia modern dan telah menerapkanya sejak lama.
2.4 Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan di Wilayah Gunung Halimun
            Kawasan Gunung Halimun di Jawa Barat adalah suatu kompleks pegunungan yang secara administrative berada di wilayah tiga Kabupaten dalam dua Provinsi. Yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi (Provinsi Jawa Barat) dan Kabupaten Rangkasbitung (Provinsi Banten).  Kompleks Gunung Halimun termasuk kawasan hutan hujan tropis yang relatif masih “utuh” yang tersisa di Pulau Jawa. Kawasan hutan ini masih mampu menyimpan berbagai jenis habitat tumbuhan yang masih hidup di Pulau Jawa yang cukup lengkap.
            Masyarakat desa di sekitar Gunung Halimun pada umumnya merupakan penduduk asli yang bermukim di kawasan yang cukup datar di sepanjang jalan desa. Kelompok sosial yang bermukim di sekitar bukit-bukit dan gunung-gunung di kawasan kompleks Gunung Halimun itu menamakan dirinya warga kasatuan atau kesatuan. Mereka lazim pula disebut oleh masyarakat desa pada umumnya warga kasepuhan.
            Di daerah Banten Selatan warga kasepuhan bermukim di sekitar Kecamatan Bayah yang antara lain terkonsentrasi di Kampung Tegalumbu, Cicarucub, Cisungsang, Cicemet, Sirnagalih, dll. Kawasan Kompleks Gunung Halimun dari arah selatan ke utara dan timur dibangun oleh gunung-gunung Cisarua (855 m), Bodas (965 m), Batu (1.323 m), Talang (1.329 m), Pangkulahan (1.315 m), Kendeng (1.764 m), dll. Gunung Halimun sendiri merupakan gunung tertinggi diantara gunung-gunung yang ada. Namun, menurut keterangan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan gunung tersebut, nama “halimun” bukan menunjukan salah satu gunung yang ada di seputar kawasan tersebut. Nama “Halimun” mewakili semua gunung disana yang puncaknya selalu ditutupi awan atau halimun dalam bahasa Sunda.
            Sebagai masyarakat yang masih mempertahankan pola hidup tradisional dalam keseharianya, ada beberapa hal yang masih dijaga oleh masyarakat kasepuhan, diantaranya adalah keberadaan konsep hutan sebagai bagian penting dari kehidupan masyarakat adat.
a)      Leuweung kolotatau biasa pula mereka sebut leuweung geledegan  yaitu hutan yang masih lebat ditumbuhi berbagai jenis pohon besar dan kecil (geledegan). Ciri-ciri  jenis hutan tersebut ialah pepohonanya rimbun, tingkat kerapatanya tinggi, dan berbagai jenis binatang masih hidup di dalamnya. Di sekitar wilayah desa Bungur, jenis hutan seperti diatas, terdapat di sekitar kawasan cagar alam gunung Halimun.
b)      Leuwueng sampalan  yaitu hutan yang dapat dieksploitasi manusia secara luas. Pada jenis hutan ini, manusia boleh membuka ladang, menggembalakan ternak, mengambil kayu bakar dll. Di desa Bungur jenis hutan itu biasa pula disebut leuwung bukaan atau hutan yang dapat dibuka. Jenis hutan ini terletak di sekitar tempat pemukiman.
c) leuweung titipan adalah hutan yang diakui oleh semua warga kasepuhan sebagai hutan keramat. Jenis hutan semacam ini sama sekali tidak boleh dieksploitasi oleh siapa pun pun tanpa seizing sesepuh girang. Kelestarianya harus dipertahankan. Penggunaan hutan tersebut dimungkinkan apabila telah diterima semacam wangsit atau ilapat  dari nenek moyang melalui sesepuh girang. Di kalangan warga kasepuhan , gunung Ciawitali dan Gunung Girang Cibareno dipercayai sebagai leuweung titipan.
            Baik di kalangan warga kasepuhan maupun kalangan orang Baduy di daerah Banten Selatan tampaknya memiliki konsep dan penggolongan  yang sama tentang pengetahuan mereka mengenai hutan. Leuweung lembur di kalangan orang Baduy merupakan hutan yang ada di sekitar kampong yang pada mulanya merupakan leuweung kolot  yang kemudian dibuka atau digarap untuk dijadikan lading dan lahan pemukiman. Leuwueng lembur  itu agaknya identik dengan leuweung sampalan yang bagi masyarakat kasepuhan pada awalnya merupakan leuwueung kolot yang berada di sekitar kampung yang kemudian dibuka untuk menjadi lading dan penggembalaaan.
            Berdasarkan pandangan tradisional, sebagaimana yang berlaku di kalangan warga kasepuhan, hutan yang termasuk leuweung kolot sesungguhnya tidak boleh dieksploitasi sedangkan leweung titipan hanya boleh digunakan apabila sudah ada perintah dari nenek moyang (karuhun) yang disampaikan melalui wangsit atau ilapat yang diterima sesepuh girang.Hanya leweung sampalan yang terbuka untuk digarap setiap saat oleh warga kasepuhan dalam usaha mendukung kebutuhan hidup mereka.
            Namun, seiring dengan berjalanya waktu, konsep-konsep pengetahuan tradisional tentang hutan ini sedikit tergeser oleh kehadiran oknum-oknum yang terus saja berusaha mengambil keuntungan di tengah lahan yang terus saja semakin berkurang di pulau Jawa.Kehadiran perusahaan-perusahaan besar baik skala nasional maupun asing yang muncul untuk mengeksploitasi hasil alam di sekitar kawasan Gunung Halimun, mau tidak mau terkadang menjadi tekanan bagi masyarakat kasepuhan sendiri.
Tekanan-tekanan dari luar yang terus menerus berlangsung cukup lama itu, membawa pengaruh psikis yang dalam terhadap masyarakat setempat. Hal itu dapat diamati dalam pola kehidupan warga kasepuhan antara lain dalam cara memahami hutan. Pengaruh luar yang selama ini mereka dapatkan melalui eksploitasi hutan tidak sesuai dengan penggolongan system pengetahuan mereka tentang hutan. Hal demikian sesungguhnya sangatlah membingungkan mereka bahkan mengakibatkan hilangnya pandangan akan pengetahuan tradisional bagi sebagian penduduk. Salah satunya bagi masyarakat yang berprofesi sebagai peladang dimana berarti huttan adalah tempat penghidupan mereka, tentu kelestarian hutan haruslah dijaga.Sikap yang demikian tersebut dapat dipahami dari terminology kata huma yang berarti lading dan kata leuwueng yang berarti hutan.
Bagi warga kasepuhan kata huma berarti imah atau rumah.Hal tersebut sesuai dengan arti kata tersebut.Dalam pandangan yang demikian, maka rumah bagi warga kasepuhan bukan hanya tempat untuk tidur, tetapi juga merupakan sumber utama rohani dan jasmani.
Ada 5 (lima) jenis interaksi dan cara memanfaatkan lingkungan dalam masyarakat Kasepuhan, diantaranya adalah :
a)      Pekarangan
Bagi kebanyakan masyarakat, pengertian pekarangan bukanlah lagi sebagai sebuah lahan  di sekitar rumah, namun terkadan pekarangan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang bersifat ekonomis. Namun, pada pola pemukiman masyarakat sunda yang masih mengenal system peladangan, sebagaimana yang ditunjukan oleh masyarakat kasepuhan, masyarakat kampong naga  dan masyarakat baduy, sesungguhnya mereka tidak mengenal pekarangan. Dalam pola pemukiman ketiga masyarakat adat di sekitar pulau jawa bagian barat ini hanya dikenal buruan atau halaman yang lebih menekankan pada fungsi sosial daripada fungsi ekonomi.
b)      Ladang (huma)
Pada umumnya, masyarakat kasepuhan berladang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka terutama dalam  kebutuhan sehari-hari. Namun, tekanan para petugas kehutanan terhadap penduduk, khususnya anggota warga kasepuhan yang melakukan perladangan, benar-benar telah mengurangi kawasan garapan mereka walaupun hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri. Pelarangan berladang bagi masyarakat kasepuhan tampaknya menimbulkan penderitaan sosial ekonomi yang cukup berat bagi masyarakat kasepuhan. Larangan tersebut juga secara sosial menghancurkan kesatuan kelompok. Dengan kata lain pelarangan akan menimbulkan disintegrasi sosial dan secara ekonomi mencuatkan kemisikinan baru pada mereka.
c)      Talun
Talun adalah kebun yang terletak jauh dari perkampungan yang frekusensi pemeliharaanya tidak begitu intesnsif dibandingkan dengan kebun yang letaknya berdekatan dengan pemukiman. Jenis tumbuhan yang biasanya ditanam antara lain rambutan, nangka, durian, petai dan mangga.
d)     Sawah
e)      Hutan
2.5 Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan di Wilayah Kampung Naga
            Kampung Naga berada di lereng gunung dengan kemiringan hampir 45º pada ketinggian 450 meter dpl. Luas wilayah 1,5 Ha (Legana Sa Naga) dihuni warga masyarakat Kampung Naga (seuweu siwi Naga) yang jumlahnya 310 jiwa dengan KK 99 (2010). Jumlah bangunan (102 buah), penduduk, dan KK relatif  tetap. Masyarakat Kampung Naga termasuk masyarakat tradisional yang dipersatukan oleh adat istiadat yang terus dipertahankan dan dilestarikan dan dijadikan sebagai pedoman hidup warganya.
Eksistensi masyarakat  Kampung Naga dalam tatanan hidup bermasyarakat dan kondisi alam menunjukkan pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dan kemampuan berpikir dan berperilaku bijaksana. Cara dan kebiasaan yang bersifat praktis-pragmatis dalam mengatasi permasalahan dan memiliki kebenaran normatif  telah melembaga menjadi adat istiadat dan menjadi pedoman hidup adalah refleksi dari nilai-nilai kearifan local.
Nilai-nilai kearifan lokal yang mendasari  cara berpikir dan berperilaku terefleksikan di dalam tatanan hidup bermasyarakat, pengelolaan dan pendayagunaan lingkungan alam yang terus dipertahankan hingga lingkungan hidup memberikan daya dukung berkelanjutan bagi masyarakat Kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga memiliki pola hidup sederhana, kebersamaan, pola pemukiman dan rumah, tata ruang, dan menghargai dewi sri (padi).   
Pola hidup sederhana tercermin dalam ungkapan: teu saba, teu boga, teu banda teu boga, teu weduk teu bedas, teu gagah teu pinter, dan amanat ti kolot sacekap-cekapna sakieu wae (tidak bepergian, tidak punya, tidak memiliki harta kekayaan, tidak kebal tidak kuat, tidak gagah tidak pandai, dan sekian amanat dari leluhur). Ungkapan tersebut memiliki nilai filosofis sebagai landasan berperilaku.  Hidup sederhana tidak menjadikan mereka hidup miskin, melainkan menunjukkan kemandirian dengan mengelola sumber daya alam sesuai kebutuhan dan budaya (culturally defined resources) yang tersedia di lingkungannya (man ecological dominant).  
Hakikat hidup adalah suatu amanat bahwa manusia hidup memiliki ikatan dengan alam sebagai sumber kehidupannya, sehingga amanat tersebut tetap dipertahankan karena telah berfungsi mempertahankan eksistensinya dalam lingkungan alam dan lingkungan sosial.Mereka tidak fatalistik, melainkan menyadari adanya nasib, takdir, dan kekurangan serta keterbatasan, baik yang dimiliki manusia maupun lingkungan.  Hidup sederhana dan damai  adalah adanya keharmonisan dalam lingkungan sosial dan lingkungan alam.  Ketatanan melaksanakan amanat tersebut menunjukkan keteraturan hidup bermasyarakat yang  merefleksikan nilai-nilai kearifan lokal dalam kehidupan yang bersahaja, mengutamakan kedamaian, dan kebersamaan.
Gotong royong dan kebersamaan atau keguyuban merupakan hakikat kehidupan manusia yang saling membutuhkan satu sama lain. Mereka sangat menyadari keterbatasan dapat diatasi dengan kebersamaan.Ketaatan terhadap adat istiadat adalah wujud kepedulian terhadap para leluhur yang telah menciptakannya, mempertahankan kebersamaan, mengutamakan kedamaian antar warga, dan menghindari konflik internal.Gotong royong dan kebersamaan dalam kegiatan sosial seperti mendirikan rumah, pelaksanaan upacara dalam berbagai aspek kehidupan menunjukkan kebersamaan, mentaati tata tertib, dan kesamaan derajat atau status sebagai warga masyarakat Kampung Naga.
Rumah (bumi=tanah) bagi warga masyarakat tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, melainkan memiliki fungsi sosial, fungsi spiritual,  dan fungsi falsafiah. Pemilihan tempat, proses pembangunan, arah dan bentuk serta material yang digunakan mencerminkan ketaatan terhadap nilai-nilai kearifan lokal.Bangunan rumah adalah jenis rumah panggung tradisional berukuran 8x5 meter yamg memanjang arah Barat-Timur.  Rumah terdiri atas lima ruangan yaitu: ruang depan, ruang tengah, ruang tidur, ruang goah, dan dapur. Material bahan bangunan terdiri atas: batu (tatapakan), kayu/bambu (tiang, dinding, dan lantai), ijuk dan daun tepus (atap) serta tidak menggunakan bahan yang berasal dari metal (misalnya paku).
Pola pemukiman mengikuti garis kontur (ngais pasir), jumlah bangunan tetap yang diperuntukan bagi rumah warga, mesjid, bumi ageung, dan ruang pameran berbagai hasil karya warga.  Bangunan rumah didirikan secara berundak dengan membuat teraserring menggunakan batu kali tanpa semen, mengisi ruang hidup yang berupa lereng untuk menjaga terjadinya longsor.  Pola pemukiman dan rumah dibangun mengikuti tata aturan dan diawali dan diakhiri dengan upacara selamatan, sehingga memberikan ketenangan bagi penghuninya.Dari rumah semua datangnya pancaran rasa, karsa, dan karya.Karena itu segala sesuatu yang berhubungan dengan rumah dianggap sakral atau suci.Hal ini tercermin dengan jelas di dalam pola pembagian ruangan dalam rumah dan kesatuannya dengan lingkungan alam.
Tata ruang Kampung Naga mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal yang ditunjukkan dengan adanya pembagian wilayah. Tata ruang terbagi ke dalam tiga wilayah adat, yakni: (1) wilayah terlarang, yaitu kawasan makam (pasarean) dan hutan naga yang tidak boleh dijamah oleh siapapun.Disamping itu hutan larang berfungsi sebagai pengontrol ekologis lingkungan disekitarnya. Perlindungan itu diwujudkan dalam konsep pelestarian hutan lindung di hulu Sungai Ciwulan.Tak heran jika beragam pohon besar hingga variasi tanaman obat tumbuh subur di Hutan Biuk itu.menurut warga disana, siapa pun tidak boleh masuk ke Hutan Biuk yang terletak di kaki Gunung Karacak, termasuk warga Kampung Naga. ”Jangankan menebang pohon dan memanfaatkannya, masuk ke hutan saja, orang tidak boleh, kecuali diizinkan oleh tetua adat,” katanya.”Karuhun” Naga juga mewanti-wanti. Jika ada pohon tumbang di Hutan Biuk, warga sama sekali tidak boleh menjamahnya. ”Biarkan batang kayu itu membusuk dengan sendirinya,” kata Ucu.Kalaupun mendapat izin untuk mengambil tanaman obat di sekitar hutan, warga Kampung Naga harus mematuhi perintah tetua adat.”Misalnya, hanya satu kaki yang boleh menginjak Hutan Biuk.Dan.satu kaki lainnya harus berada di luar kawasan hutan.Mereka memang seperti tidak mau hutan adat itu diberikan beban berat kaki manusia,” papar Ucu.
Untuk menjaga kelestarian air, masyarakat Kampung Naga juga dilarang mengambil ikan sembarangan.Hanya saat tertentu, adat memperbolehkan masyarakat mengambil ikan dalam jumlah besar.Saat itu dinamakan masyarakat Naga sebagai upacara adat Marak.Tradisi marak adalah membendung sebelah Sungai Ciwulan di pinggir kampung untuk mencari ikan-ikan di sungai tersebut.Hampir semua laki-laki warga kampung ikut turun untuk membendung Sungai Ciwulan.Setelah airnya surut, ikan- ikan pun gampang ditangkap.Warga yang mencari ikan kokolot Naga dilarang menggunakan racun kimia berbahaya. Kalaupun menggunakan ”racun”, racun itu berasal dari obat tradisional, yang ramuannya dari akar pohon tertentu yang boleh digunakan untuk memabukkan ikan. ”Jadi, kalau menggunakan racun kimia, bukan hanya ikan yang mati, melainkan kehidupan kami,” kata warga lainnya.Kearifan lokal inilah yang membuat kawasan kampung naga tetap asri dan damai.
Wilayah produktif, yakni kawasan pertanian sawah; dan wilayah inti (legana sa naga), yakni kawasan pemukiman dan wahana berlangsungnya aktivitas kemasyarakatan.Masyarakat Kampung Naga membagi penggunaan lahan kedalam 3 bagian yaitu: 1. Kawasan Suci, yaitu sebuah bukit kecil di sebelah barat perkampungan yang sering disebut hutan larangan. Di kawasan inilah terdapat makam leluhur setempat.Disamping itu hutan larang berfungsi sebagai pengontrol ekologis lingkungan disekitarnya.Kearifan lokal inilah yang membuat kawasan kampung naga tetap asri dan damai.2. Kawasan Bersih, yaitu kawasan yang bebas dari benda-benda yang mengotori kampung baik sampah rumahtangga maupun hewan. Kawasan ini dibatasi pagar dari bambu.3. Kawasan Kotor, Kawasan ini diperuntukkan untuk kegiatan penunjang kehidupan lainnya yang tidak mesti harus dibersihkan setiap saat. Di dalam area ini terdapat WC, kolam, kadang ternak.Secara morfologis, kampung naga berada di lereng bukit yang potensial terjadinya longsor.Wilayah terlarang berada di bagian atas pemukiman sehingga menjadi daerah konsevasi dalam upaya pelestarian lingkungan hidup.Wilayah produktif berada di gerbang memasuki kampung naga (wilayah inti).Ketiga wilayah tersebut dipergunakan sesuai dengan peruntukkannya dan sampai sekarang tidak mengalami perubahan.  Prinsip pelestarian lingkungan yang dilakukan masyarakat berdasarkan etika lingkungan yang berkelanjutan bahwa lingkungan sebagai sumberdaya memiliki keterbatasan (World Commision Environment and Development).
Padi bagi masyarakat Kampung Naga tidak hanya menjadi bahan makan pokok, melainkan memiliki nilai spiritual sebagai penghormatan dan ungkapan terima kasih terhadap Dewi Sri.Padi diperlakukan dengan bijaksana mulai dari penanaman, pemeliharaan, panen sampai pasca panen dan mengkonsumsinya.Bertani, tidak hanya sebagai mata pencaharian melainkan tradisi yang terus dilestarikan. Bibit padi menggunakan jenis padi lokal dengan masa tanam enam bulan (pare gede), tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida, dan hasil panen disimpan di lumbung padi kampung.  Kegiatan bertani diawali dan diakhiri dengan upacara.
Masyarakat Kampung Naga memiliki pola pikir dan perilaku sebagai hasil penyesuaian (conformity) dan ketaatan terhadap nilai-nilai kearifan lokal.Keguyuban masyarakat tidak hanya berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal, melainkan dipersatukan oleh kesamaan leluhur dan kesatuan ruang hidup. Nilai-nilai kearifan lokal pada masyarakat Kampung Naga menjadi pedoman hidup yang terwujudkan dalam perilaku warganya terhadap lingkungan, baik lingkungan sosial budaya maupun lingkungan alam sebagai ekspresi hakikat manusia sebagai mahluk Tuhan, mahluk sosial, dan mahluk yang merupakan bagian dari alam semesta.
2.6 Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan di Wilayah Kampung Kuta
Kampung Kuta adalah dusun adat yang masih bertahan.Kampung Kuta ini terletik di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis.Kampung adat ini dihuni masyarakat yang dilandasi kearifan lokal, dengan memegang budaya pamali, untuk menjaga keseimbangan alam dan terpeliharanya tatanan hidup bermasyarakat.
Kampung Kuta ini terletak di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.Namun, warga kampung menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari tanpa sedikit pun tercampur bahasa Jawa. Begitu pula nama orang harus menggunakan nama dari bahasa Sunda dan tidak boleh dari bahasa Jawa.
Kampung yang berada diperbatasan Jawa Barat dan Jawa tengah ini kini sudah mulai modern sejak listrik masuk kedaerahnya pada tahun 1994.Tapi kampong ini pernah mendapat penghargaan dari presiden pada tahun 2002 tentang penyelamat lingkungan.
Untuk sekarang masyarakat yang tinggal di kampong kuta sekitar 120 kepala keluarga,
Ketua adat memimpin kampong, mengurus masyarakat mengurus adat dan mengatur semua yang berhubungan dengan adat.Sedangkan untuk kuncen, hanya mengantar ke hutan keramat.Untuk kuncen ini, biasanya turun temurun dari leluhurnya biasanya diturunkan kepada anak laki-laki paling besar.
Kampung Kuta terletak di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis ini kampung adat yang berjarak sekitar 45 kilometer dari pusat kota Ciamis dan terbilang istimewa. Warga kampung seluas 97 hektar ini kukuh memelihara tradisi leluhur berusia ratusan tahun yang membingkai kehidupan masyarakatnya.
Nama Kampung Kuta bisa jadi mengacu pada lokasi kampung di lembah curam sedalam 75 meter dan dikelilingi tebing dan perbukitan.Dalam bahasa Sunda, hal itu disebut kuta (artinya pagar tembok).Aliran listrik sudah masuk ke kampung ini sejak 1996 sehingga memungkinkan warganya menikmati peralatan elektronik, seperti televisi, radio, dan telepon seluler.Namun, warga Kampung Kuta masih mempertahankan bentuk rumah tradisional khas Sunda.
Masyarakatnya sampai saat ini masih memegang teguh melestarikan adat leluhurnya (karuhun), amanat leluhurnya yang masih dipertahankan antara lain :
a.    Rumah panggung yang harus beratap rumbia atau injuk (tidak boleh permanen). Dalam membangun rumah atau tempat tinggalnya masyarakat kampung Kuta berpegang teguh pada Pepatah atau amanah leluhurnya yaitu “Ulah rek di kubur hirup-hirup, ulah ngabangun istana jadi astana” dalam bahasa sunda yang artinya, Jangan mau dikubur hidup-hidup, jangan membangun istana (rumah) yang menjadi astana (kuburan), jika kita artikan berdasarkan fenomena yang terjadi saat ini yaitu gempa bumi yang melanda tasikmalaya beberapa waktu lalu, pepatah tersebut menuntun khusunya masyarakat kampung Kuta umumnya kepada kita semua untuk membangun rumah yang ramah akan gempa, ketaatan tersebut membuahkan ketika peristiwa gempa bumi tersebut terjadi maka tak ada satupun bangunan atau rumah kampung kuta yang rusak karena spesifikasi rumah kampung adat memang merupakan rumah yang ramah akan gempa, sekalipun hancur maka dampaknya tidak akan begitu parah jika menimpa penghuninya dikarenakan atap rumah tersebut dibangun dengan rumbia atau injuk.
b.    Masyarakat kampung kuta memiliki kepercayaan dan adat yang berkaitan dengan hutan keramat. Hutan keramat dianggap oleh masyarakat sebagai tempat yang suci atau sacral sehingga masyarakat kampung kuta memberlakukan berbagai aturan adat untuk melindungi hutan keramat tersebut yaitu :
Tidak boleh mengambil hasil hutan seperti kayu, buah-buahan, hewan, dan lain sebagainya yang berada di dalam hutan keramat
Tidak boleh memakai pakaian serba hitam, dan pekaian seragam dinas atau seragam pemerintah.
Tidak boleh meludah, buang sampah, buang air besar atau kecil yang dapat mengotori hutan.
Tidak boleh berkata tidak sopan atau istilah sundanya “Sompral” di hutan keramat.
Tidak boleh memakai alas kaki seperti sandal dan sepatu.
Selain itu mereka juga mempertahankan tempat-tempat keramat (tabet-tabet) yaitu Leuwueng Gede, Gunung Wayang, Pandan Domas, Gunung Barang, Cikasihan, Gunung Goong, dan Panyipuhan.
c.     Melakukan Upacara Adat setiap tahunnya yaitu :
1.    Nyuguh, diselnggarakan setiap bulan Mulud, yang bertujuan untuk memperingati Maulid Nabi Besar Muhammad Saw, dan sebagai ungkapan rasa syukur atas rejeki dan terhindar dari malapetaka.
2.    Hajat Bumi, diselenggarakan setiap Kalimangsa kapat atau pada masa panen, tujuannya adalah ungkapan rasa syukur atas keberhasilan masyarakat kampung kuta dala bercocok tanam, sekaligus memohon perlindungan untuk masa cocok tanam yang akan datang, biasnya diselenggarakan pada bulan September sampai Nopember atau hari-hari yang dianggap baik.
3.    Babarit ,diselenggarakan setiap ada kejadian alam seperti lini (gempa bumi) dan kejadian alam lainnya
4.    Upacara mendirikan rumah atau ngadeugkeun dan mendiami rumah baru setelah mendepatkan hari baik
d.    Penduduk yang meninggal harus dimakamkan di luar Kampung Kuta. Hal ini dikarenakan amanah dari leluhurnya untuk menjaga kesucian tanah Kampung Kuta, berkaitan dengan kesucian tanah Kampung Kuta  mereka juga tidak boleh membangun tempat MCK(mandi cuci kakus) mereka memilih untuk pergi kesungai jika hendak buang air dan sebainya.
e.    Masyarakat Memiliki Leuit atau penyimpanan gabah atau padi hasil panen.Jika terjadi rawan pangan atau paceklik, ini mengartikan bahwa kampung Kuta memiliki jiwa sosial yang tinggi dan memiliki keinginan untuk menabung.
f.      Memelihara dan melestarikan Pohon Aren sebagai sumber mata pencaharian utama masyarakat dusun Kuta membuat gula Aren
g.    Dilarang membuat sumur atau sumur bor, hal ini karena dapat merusak tanah dan merusak jalur air yang ada di dalam tanah, dalam mencukupi kebutuhan airnya mereka mengandalkan sumber mata air salah satunya dari mata air ciasihan.

2.7 Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam
            Berbicara masalah kearifan lokal maka tidak akan terpisahkan dari konsep Tuhan, Manusia dan Alam. Karena sejatinya, kata “arif” merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang berarti “mengetahui”. Ketiga aspek ini merupakan satu kesatuan yang sebenarnya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Kita tidak akan memahami Tuhan jika kita tidak memahami Alam dan Manusia, begitu pun sebaliknya. Dengan contoh yang mudah, manusia dan alam merupakan salah satu bukti wujud adanya Tuhan.
            Masing-masing memiliki cara tersendiri dalam memandang keberadaan Tuhan.Islam memaknai Tuhansebagai zat yang terdapat dalam qalbu.Qalbu sendiri merupakan kamar kecil yang terdapat di dalamnya yaitu hati nurani atau suara hati atau disebut dengan bashirah merupakan satu titik kecil atau kotak kecil (black box) yang tersembunyi secara kuat dan rapih di dalam hati, hati nurani merupakan hot line manusia dengan Tuhan atau yangmenghubungkan manusia dengan tuhan atau disebut dengan (god spot)titik Tuhan.
Esensi Tuhan dalam ajaran islam adalah Esa(tunggal) yakni Allah yang Maha Esa, tidak ada yang mengingkari ke-Esa-an Allah. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Itulah ajaran pertama islam dimana umatnya diwajibkan untuk mentauhidkan Allah swt sebagai pencipta, pelindung dan sesembahan yang berhak untuk disembah. Dalam bahasa ilmiah dikenal dengan Monoteisme yaitu mempercayai adanya satu tuhan.Tentunya lawan dari monoteisme adalah politeismeyakni percaya lebih dari satu tuhan. Paham monoteisme inilah yang dianut oleh umat islam dalam beragama. Islam sebagai agama samawi yang diyakini oleh umatnya sangat menjunjung tinggi ke-Esa-an tuhan. Para ulama salafiayah yang ahli dalam bidang ini pun mengajarkan bahwa dalam islam tidak ada sekutu bagi Allah dan barangsiapa yang tidak percaya akan ke-Esa-anNya maka ia sungguh telah berbuat syirik.
Sedangkan agama Kristen memandang Tuhan sebagai juru selamat umat manusia.Ajaran ketuhanan dalam agama Kristen sebagaimana yang tercantum dalam kredo Iman Rasuli yaitu, Tritunggal yang terdiri dari Allah Bapa, Allah putera, dan Roh Kudus. Semuanya itu adalah adalah pribadi Allah.Allah yang Maha Sempurna, Maha Kudus, Maha Tahu dan kekal. Ketiga pribadi Allah tersebut disembah dengan cara yang sama karena dari ketiganya itu hanya ada satu Allah. Secara umum, umat Kristiani bersyukur akan Allah Tritunggal, yakni Allah Bapa sebagai pencipta alam semesta, Allah Putera sebagai penebus dosa manusia, dan Roh Kudus menyucikan manusia.
Agama Hindu mempunyai keprcayaan terhadap para dewa.Dewa bukan hanya dianggap sebagai “yang dituhankan” tetapi juga bhawa dewa dulunya adalah nenek moyang mereka.Dewa-dewa yang ada dalam agama Hindu diantaranya Bhatara yang terpenting di antaranya adalah Bhatara Brahma (dewa api), Bhatara Surya (dewa matahari), Bhatara Indra (dewa penguasa surga), Bhatara Yama (penguasa maut), dan Bhatari Durga (dewi maut atau kematian). Bhatara Siwa adalah dewa tertinggi yang menguasai dan memiliki kekuatan para dewa lainnya.Bahkan, semua dewa adalah penjelmaanya.Penjelmaan Siwa yang dianggap penting adalah Bhatara Guru, Bhatara Kala dan Bhatari Durga.
Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Budha diungkapkan dalam kalimat “Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatam” yang artinya “Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak”. Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asankhata) maka manusia yang berkondisi (sankhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana batin manusia tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa – dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai.Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya.
Dalam pandangan agama Islam, manusia dan alam merupakan aspek yang tidak dapat dipsahkan.Hubungan antara Tuhan, manusia dan alam sangatlah erat.Tuhan sebagai dzat yang menciptakan manusia.Manusia dan Alam sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan.  Jika peran Tuhan tidak ada manusia dan alam tidak akan tercipta. Hubungan manusia dengan Tuhan disebut pengabdian (ibadah). Pengabdian manusia bukan untuk kepentingan Allah, Allah tidak berhajat (berkepentingan) kepada siapa pun, pengabdian itu bertujuan untuk mengembalikan manusia kepada asal penciptanya yaitu fitrah (kesucian)nya. Agar kehidupan manusia diridhoi oleh Allah swt. Seperti yang dijelaskan al-Qur’an dalam surat az-Zariyat ayat 56 yang artinya:
”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyambahku.”
Manusia dikaruniai akal (sebagai salah satu kelebihannya), dia juga sebagai khalifah  dimuka bumi, namun demikian manusia tetap harus terikat dan tunduk pada hukum Allah swt.Alam diciptakan oleh Allah swt dan diperuntukkan bagi kepentingan manusia. Sebagai khalifah, manusia diberi wewenang untuk mengelola dan mengolah serta memanfaatkan alan ini.
Allah swt sebagai Sang Pencipta yang menciptakan alam beserta isinya, lalu Allah swt menciptakan makhluk yang bernama manusia sebagai pengurus bumi. Manusia akan dimintai pertanggung jawabannya langsung kepada Allah swt  tentang hasil dari kepengurusannya. Barang siapa yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt dan menjalankan amanat dengan sebaik-baiknya maka niscahya dia akan mendapatkan kebahagiaan didunia dan diakhirat. Sedangkan sebaliknya siapa yang inkar dan tidak memperdulikan perintah Allah swt akan mendapat murka dan laknat Allah didunia maupun diakhirat. Dan alam ini akan menjadi saksi dihadapan Allah swt dan tidak akan ada satu orang manusiapun yang bisa memungkiri perbuatannya selama didunia ini ketika tiba masanya harii perhitungan karena sesungguhnya Allah swt itu Maha Mengetahui segala sesuatu.
Sebagaimana dalam agama Islam, agama Kristen juga memiliki pandangan yang sama tentang manusia dan alam. Alkitab menggambarkan kesatuan manusia dengan alam dalam cerita tentang penciptaan manusia: “Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah” (Kej 2:7), seperti Ia juga “membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara” (Kej 2:19). Dalam bahasa Ibrani, manusia disebut adam. Nama itu mempunyai akar yang sama dengan kata untuk tanah, adamah yang berarti warna merah kecoklatan yang mengungkapkan warna kulit manusia dan warna tanah. Dalam bahasa Latin manusia disebut homo, yang juga mempunyai makna yang berkaitan dengan humus, yaitu tanah. Dalam artian itu, tanah yang biasa diartikan dengan bumi, mempunyai hubungan lipat tiga yang kait mengkait dengan manusia: manusia diciptakan dari tanah (Kej 2:7; 3:19,23), ia harus hidup dari menggarap tanah (Kej 3:23), dan ia pasti akan kembali kepada tanah (Kej 3:19; Maz 90:3). Di sini nyata bahwa manusia dan alam (lingkungan hidup) hidup saling bergantung – sesuai dengan hukum ekosistem. Karena itu, kalau manusia merusak alam maka secara otomatis berarti ia juga merusak dirinya sendiri.
Tentang kepemimpinan manusia atas alam juga dijelaskan dalam Kejadian 1 ayat 26-28,  Hanya manusia yang diciptakan segambar dengan Allah dan yang diberikan kuasa untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan seluruh ciptaan yang lain, dan untuk mengelola dan memelihara lingkungan hidupnya (Kej 2:15). Jadi manusia mempunyai kuasa yang lebih besar daripada makhluk yang lain. Dalam Kejadian 2 ayat 15 ini juga dijelaskan kata mengelola dalam digunakan istilah Ibrani abudah, yang sama maknanya dengan kata ibadah dan mengabdi. Maka manusia sebagai citra Allah seharusnya memanfaatkan alam sebagai bagian dari ibadah dan pengabdiannya kepada Allah. Dengan kata lain, penguasaan atas alam seharusnya dijalankan secara bertanggung jawab: memanfaatkan sambil menjaga dan memelihara. Ibadah yang sejati adalah melakukan apa saja yang merupakan kehendak Allah dalam hidup manusia, termasuk hal mengelola (abudah) dan memelihara (samar) lingkungan hidup yang dipercayakan kekuasaan atau kepemimpinannya pada manusia.
Dalam agama Hindu, relasi Tuhan, manusia dan alam dijelaskan dalam konsep kosmologi Tri Hita Karana merupakan falsafah hidup tangguh.Falsafah tersebut memiliki konsep yang dapat melestarikan keaneka ragaman budaya dan lingkungan di tengah hantaman globalisasi dan homogenisasi.  Pada dasarnya hakikat ajaran tri hita karana menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini. 
Hakikat mendasar Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara Manusia dengan Tuhan nya, Manusia dengan alam lingkungannya, dan Manusia dengan sesamanya.Dengan menerapkan falsafah tersebut diharapkan dapat menggantikan pandangan hidup modern yang lebih mengedepankan individualisme dan materialisme. Membudayakan Tri Hita Karana akan dapat memupus pandangan yang mendorong konsumerisme, pertikaian dan gejolak.
Ketiga hubungan itu meliputi hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan alam sekeliling, dan hubungan dengan ke Tuhanan yang saling terkait satu sama lain. Setiap hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek sekelilingnya.Prinsip pelaksanaannya harus seimbang, selaras antara satu dan lainnya. Apabila keseimbangan tercapai, manusia akan hidup dengan mengekang dari pada segala tindakan berekses buruk. Hidupnya akan seimbang, tenteram, dan damai. Hubungan antara manusia dengan alam lingkungan perlu terjalin secara harmonis, bilamana keharmonisan tersebut di rusak oleh tangan-tangan jahil, bukan mustahil alam akan murka dan memusuhinya.
Ajaran Buddha mengajarkan sebab akibat, bahwa keseluruhan alam semesta merupakan jaringan sebab dan akibat yang saling berhubungan.Terdapat dua jenis sebab akibat – sebab akibat alamiah dan sebab akibat moral. Sebab akibat alamiah tidak ada hubungannya dengan orang-orang menjadi baik atau jahat, ia hanyalah persoalan dari berbagai kekuatan di alam semesta yang bekerja satu sama lain. Hujan badai atau matangnya hasil panen merupakan contoh sebab akibat alamiah.Sebab alamiah tentunya dapat mempengaruhi kita – terperangkap dalam sebuah hujan badai dapat menyebabkan kita demam.Namun penderitaan akibat demam tidak ada hubungannya dengan perbuatan masa lampau yang baik atau buruk – ini adalah akibat alamiah dari sebab alamiah.Sebab akibat moral adalah tentang bagaimana seseorang berpikir, berkata dan bertindak serta bagaimana mereka merasakan akibatnya.Menjadi penolong bagi seseorang, mendapatkan terima kasih dari mereka dan merasakan kebahagiaan karena hal itu; mencuri sesuatu, tertangkap dan kemudian merasakan rasa malu, adalah contoh-contoh sebab akibat moral.Kebahagiaan atau ketidakbahagiaan seseorang adalah akibat langsung dari bagaimana mereka berbuat.Seseorang tidak dianugerahi atau dihukum atas perbuatan mereka, kebahagiaan atau ketidakbahagiaan hanyalah hasil dari perbuatan mereka.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan dan Saran
            Globalisasi disamping membawa manusia kepada keadaan tanpa sekat juga membawa manusia kepada satu masalah yang sama. Salah satu permasalahan bersama yang dialami dunia saat ini adalah permasalahan lingkungan. Disaat awal-awal globalisasi manusia begitu mengagumi kehidupan instan dengan teknologi canggih, maka sekarang manusia kembali meneliti kehidupan masa lalu karena ternyata kemajuan teknologi membawa pengaruh negative yang serius, yaitu kemungkinan akan hilangnya lingkungan yang sehat di masa depan.
            Masyarakat Indonesia yang merupakan masyarakat majemuk dan memiliki adat yang masih dipelihara menjadi salah satu rujukan dalam penataan lingkungan yang bersahabat dengan alam.Diantaranya masyarakat Gunung Halimun yang masih menjaga konsep “Leuweung Kolot” dan “Leuweung Sampalan”.
Masyarakat Kampung Naga memilikiPola hidup sederhana dalam hidup mereka tercermin dalam ungkapan: teu saba, teu boga, teu banda teu boga, teu weduk teu bedas, teu gagah teu pinter, dan amanat ti kolot sacekap-cekapna sakieu wae (tidak bepergian, tidak punya, tidak memiliki harta kekayaan, tidak kebal tidak kuat, tidak gagah tidak pandai, dan sekian amanat dari leluhur). Ungkapan tersebut memiliki nilai filosofis sebagai landasan berperilaku.  Hidup sederhana tidak menjadikan mereka hidup miskin, melainkan menunjukkan kemandirian dengan mengelola sumber daya alam sesuai kebutuhan dan budaya (culturally defined resources) yang tersedia di lingkungannya (man ecological dominant).  
Masyarakat Kampung Kuta memiliki cara sendiri dalam menghargai alam berupa upacara-upacara adat yang masih mereka lakukan hingga sekarang. Seperti upacara “Nyuguh” yang dilakukan setiap bulan Mulud dan bertujuan sebagai ungkapan terimakasih atas hasil alam yang telah diberikan.
Tuhan, Manusia dan Alam merupakan ketiga aspek yang sama sekali tidak dapat dipisahkan hubungannya. Dimana jika kita ingin mengenal Tuhan, kita harus mengenal manusia dan alam itu sendiri, begitu pula sebaliknya.Oleh karena itu, maka seharusnya ketiga aspek ini dikaji dan digunakan sebagai solusi alternative dalam penyelesaian masalah lingkungn di Indonesia khususnya, dan di dunia umumnya.
 

DAFTAR PUSTAKA
Adimiharja, Kusnaka. (1992). Kasepuhan Yang Tumbuh Di Atas Yang Luruh. Bandung: Penerbit Tarsito
Sumardjo,jakob. (2011).Sunda Pola Rasionalitas Budaya.Bandung:________